PROYEK BBL E-CERPEN TEMA 6 - Penyihir Cuaca
Penyihir Cuaca
Mariza X MIPA 1/21 & Vannya X MIPA 1/29
Debu
halus membumbung, menyatu dengan mendung yang sudah beberapa hari membungkus
kota. Dua Penyihir Cuaca saling melotot satu sama lain. Terhitung ratusan tahun
musuh bebuyutan itu tak saling bertegur sapa, dan kini mereka berdiri
berdampingan di puncak gedung tertinggi kota, menanggapi panggilan Sang Ketua
Menara Penyihir setelah sekian tahun lamanya.
“Apa
lihat-lihat!” Gluduk, si penyihir terang menggeram galak.
“Ya
ampun, kau lihat cermin sebentar, deh. Matamu sendiri itu menghadap kemana?” Gleder
si penyihir hujan membalas ketus, tak mau kalah.
“Bah,
orang tak tahu diri ini! Kalau kau mau diperlakukan baik, sebaiknya perbaiki
dulu kemampuanmu mengendalikan hujan. Heran, orang sepertimu bisa-bisanya jadi
penyihir.” Gluduk berujar tajam.
“Apa
maksudmu? Di mana-mana awal masalah ini, kan, gara-gara kau gagal mengendalikan
terangmu itu!” Gleder melawan sengit.
Gluduk
mengurut kening, menghela napas lelah. “Bolehkah kita berhenti berdebat tentang
benar dan salah? Sedikit meredam ego dan bertemu di tengah." Ujarnya
dengan suara rendah.
Bukannya
tergerak, Gleder pun menatapnya dengan ekspresi seperti mau muntah. “Saking
jijiknya sampai mau mati. Sadar diri saja, yang memulai pertengkaran ini itu
kau! Lagipula kau pikir aku tidak tahu itu kutipan dari buku NKTCHI?” Gleder mengkritik
Panjang lebar, “Otakmu yang tumpul itu memang cuma bisa asal comot kata mutiara
orang lain, ya?” Lanjutnya lagi.
Gluduk
merasa malu, wajahnya memanas, “Judulnya Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini,
jangan disingkat-singkat dong, karangan fiksi Marchella FP tentang pemahaman
kehidupan. Baru tahu aku kalau orang sepertimu bisa membaca buku.” Ujarnya,
menyerang balik.
Di
tengah perdebatan itu, petir menyambar langit. Kedua penyihir itu pun berjingkat
kaget. Di depan mereka mendarat Sang Ketua Penyihir. Kakek tua dengan punggung
bungkuk dan topi runcing yang membungkus uban itu berdiri seraya berkacak
pinggang. “Ayolah, jangan menatapku seperti itu.” Ujarnya, memecah
keheningan. “Lama tidak bertemu, anak-anak. Senang melihatmu akur, padahal
waktu kecil kalian mirip mesin penghancur.”
Belum
sempat mereka membantah, Ketua Penyihir Kembali membuka mulutnya, “Begini,
karena aku sibuk, maka langsung ke intinya saja. Kalian berdua, Gluduk dan
Gleder, gagal menjalankan tugas untuk menjaga keseimbangan iklim di tempat
ini.”
“Gagal
bagaimana?” bingung Gluduk.
“Anak
muda, coba pakai matamu dan lihat ke sekeliling. Suhu semakin panas, curah
hujan tinggi tidak beraturan. Kalau bukan gagal, berarti kalian berhasil
membuat iklim jadi kacau balau. Kalau hal ini terus dibiarkan, dampak perubahan
iklim akan benar-benar menghancurkan kehidupan manusia.” Kemarahan Ketua Penyihir
membuat Gluduk dan Gleder tidak berani membuka mulut.
“Lihat
ini,” Lelaki tua itu menyapukan tangannya, membuat udara di sekitar mereka berputar-putar
dengan cepat, menunjukan potongan-potongan peristiwa dengan jelas. “Naiknya
suhu dan tidak karuannya curah hujan, penyebab utamanya adalah polusi udara dan
kurangnya lahan hijau. Kalau dibarkan lebih jauh, ini semua akan terjadi.”
Ujarnya.
Tampak
jelas dalam proyeksi sihir itu, bagaimana Bumi menjadi kacau balau. Gas-gas
rumah kaca menggerogoti ozon. Polusi udara menyebabkan wabah penyakit saluran
pernapasan, asap-asap kendaraan yang tebal menghalangi jarak pandang. Pusaran
pengelihatan itu terus berputar-putar, merambah ke waktu yang lebih jauh.
Gluduk dan Gleder terkesiap menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Es di
kutub mencair, permukaan air laut naik dan menenggelamkan pulau-pulau.
Kekeringan terjadi secara global. Manusia akan segera menjemput ujung
peradabannya.
Sihir
itu pun berangsur-angsur surut. Ketua Penyihir berdeham sembari memperbaiki
topinya, “Lihat sendiri, kan?” Ia mencebik, lantas bersiap untuk pergi. “Intinya,
setelah ini kuambil kekuatan sihir kalian sebagai hukuman. Selesaikan
masalahnya kalau mau kekuatan ini kembali lagi.” Setelahnya, dalam satu
jentikan jari, lelaki tua itu menghilang dari tempatnya.
Gluduk dengan cepat menutup mata, teriknya matahari
menjadi tanda mereka untuk memulai misi “penyelematan negara.”
“Jangan
pernah berpikir aku mau bekerja sama dengan kau.” Gleder yang berdiri
disebelahnya berujar penuh penekanan, berhasil membuat air wajah Gluduk menjadi
keruh.
“Lalu
bagaimana? Kau mau hidup selamanya tanpa sihir, begitu?” Penyihir muda itu
bertanya jengkel.
“Lalu
bagaimana? Kau mau kita bekerja sama, begitu? Amit-amit, deh.” Gleder membalas dengan kening
terlipat.
“Kita
harus bekerja sama untuk membereskan masalah ini, Gleder.” Gluduk makin kesal.
Nada
serius Gluduk membuat Gleder menjadi sungkan, “Baik, tapi hanya sampai masalah
ini selesai.” Penyihir hujan itu memutuskan. Mereka pun sepakat, berjabat
tangan sebagai tanda dimulainya kerja sama itu.
“Sekarang
kita harus apa?” Gleder bertanya, bingung.
“Perubahan
iklim ini bukan sepenuhnya salah kita. Cuaca jadi susah dikendalikan kerena
ulah manusia.” Gerutu Gluduk.
“Benar, lihat saja polusi udara di kota ini. Manusia naik motor
kemana-mana, tidak peduli bahaya efek rumah kaca dan perubahan iklim yang
terjadi nantinya.” Gleder mengangguk, setuju.
“Kita harus mengubah akar penyakit cuaca di tempat ini, manusia-manusia
itu, bukan?” Gluduk menghela napasnya. “Bagaimana caranya?”
“Bagaimana
kalau pergi ke Penyihir Ide?” Gleder memberi usul. “Si Imaji cukup berguna
untuk urusan semacam ini.” usul Gluduk, lalu Gleder mengangguk tanda
setuju.
“我们开汽車去 Imaji 的
家” ucap Gleder (Kami ke
rumah imaji naik mobil)
“Kau
gila atau bagaimana? Kita ini sedang berusaha memperbaiki iklim yang berubah karena
gas dari kendaraan bermotor, kok kita juga ngelakuin itu?” Gluduk
memprotes keras.
“Lalu
bagaimana, dong? Kita kan tidak bisa pakai sihir teleportasi.”
Pada
akhirnya, Gluduk dan Gleder memutuskan untuk naik sepeda pancal.
Perjalanan berkilo-kilo meter itu mereka tempuh tanpa menggerutu, hingga
tibalah mereka di rumah mewah sang Penyihir Ide yang terletak di pusat kota.
Seorang gadis melongokkan kepalanya yang botak dari balkon lantai dua. Nama
perempuan itu adalah Imaji. Perawakannya kurus dan sedikit bungkuk, memakai kardigan
dan rok serba putih semata kaki. Tawanya menguar ketika Gluduk dan Gleder
melangkahkan kaki dalam pekarangan rumahnya yang luas itu.
“Untung dia botak.” Gluduk
berbisik pelan.
“Kenapa?” Tanya Gleder, tak
mengerti.
“Kalau rambutnya panjang, Imaji pasti mirip kuntilanak.” Bisik Gluduk
lagi, membuat Gleder mati-matian menahan tawa.
“Selamat datang, penyihir yang tidak punya sihir!” Cewek itu melompat
turun seperti tupai, menyambut kedatangan kedua tamunya. Gluduk dan Gleder
mengikuti Imaji masuk ke dalam rumahnya.
“Halo, Imaji. Kami datang karena butuh bantuan.” Tanpa basa-basi Gleder
menyampaikan maksud kedatangan mereka. Imaji tersenyum lebar sembari menyajikan
minuman dari nampannya.
“Tidak mengejutkan.” Ujarnya, “Ada apa?”
“Tolong bantu tanamkan ide di kepala semua orang supaya mereka lebih
menjaga lingkungan. Buat mereka mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, banyak
merawat tumbuhan hijau, dan reboisasi hutan-hutan yang gundul.” Tutur Gluduk.
“Baiklah, tetapi aku hanya bisa menanamkan ide, kalian harus cari
pemicunya sendiri." Imaji menyetujui.
“Maksudnya bagaimana?” Gleder mengerutkan kening, bingung.
“Begini, misalnya saja kau adalah seorang penulis dan dikepalamu yang
jelek itu tiba-tiba muncul sebuah ide cerita. Adanya ide tidak lantas membuatmu
langsung menulis sebuah novel. Kamu harus punya kemauan untuk menulis, itu yang
utama. Jadi tugas kalian adalah mencari pemicu supaya orang-orang mau
mewujudkan ide yang kutanamkan ini.” Imaji menjelaskan panjang lebar, tersenyum
miring. “Begitu saja tidak tahu.” Ujarnya, sembari mengusap-usap bundaran
mengkilat yang disebutnya kepala.
Tak betah berlama-lama, Gluduk pun berterima kasih dan menyeret Gleder
keluar. “Ternyata ada yang lebih menjengkelkan dari pada kau.” Gerutunya.
Mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan menelusuri pusat kota itu
sembari mencari ide tentang bagaimana memicu kemauan orang-orang untuk
mewujudkan ide yang ditanamkan Imaji.
“Lihat, ada helikopter.” Gluduk menunjuk ke atas. Sebuah helikopter
terbang rendah menuju helipad di sebuah sedung tinggi di dekat mereka.
“Anginnya pasti kencang
sekali. Coba saja kita punya baling-baling seperti itu di dalam rumah.” Gumam
Gleder.
“Kamu nggak liat baling-baling
itu aja bergerak awalnya 150 rad/s, dan sepertinya mau mendarat karna itu
terlihat memperlambat sebesar 10 rad/s, kalo aku tanya di 2 detik berikutnya
besar sudutnya berapa kamu tau gak ?” jelas Gluduk
“Tahu,
dong. Dengan pake rumus θ = ωot + 0,5 α t², maka bisa diketahui θ
= 150 x 2 - 0,5 x 10 x 2² maka hasil besar sudut selama 2 detik adalah 280
radian.” jawab Gleder
“Bicara soal
baling-baling, untuk mengatasi dampak perubahan iklim dimana suhu jadi naik,
kita bisa memanfaatkan limbah botol plastik untuk membuat kipas angin kecil,
loh.” Gluduk menjentikkan jari tiba-tiba, menyuarakan ide yang kebetulan
melintas di otaknya.
“Otak udang, bagaimana bisa membawa baling-baling sebesar itu ke dalam
rumah.” Gleder tak mau melewatkan peluangnya untuk mencibir.
“Kau ini ada masalah apa, sih, denganku? Sudah kubilang, kipas angin
kecil, bukan membuat kipas angin raksasa seukuran baling-baling helikopter! ”
Gluduk naik pitam, suhu udara yang panas membuat kesabarannya makin mudah
menguap.
Di jalur pejalan kaki yang sibuk itu, Gluduk dan Gleder pun terlibat adu
mulut sekali lagi.
“Jangan bertengkar dong,
kak!” Seorang anak kecil berteriak melerai. Melihat bocah laki-laki tak dikenal
yang berkaca-kaca menatap mereka itu membuat Gluduk dan Gleder tertegun
sejenak. “Sebagai sesama manusia, kita semua ini seharusnya saling mengasihi.
Tindakan kakak-kakak barusan ini sama sekali tidak menunjukkan sikap yang
sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia yang secitra dengan Allah.” Anak itu
berjalan mendekat.
Gluduk dan Gleder pun
saling bertatapan. Barulah mereka sadar, bahwa tindakan dorong-mendorong yang
mereka lakukan sejak tadi pasti disalah pahami oleh anak kecil itu sebagai
tindakan kekerasan antar mereka. “Kami tidak jadi bertengkar kok, nak.” Setengah
panik, Gleder berusaha meluruskan. Mereka menjadi pusat perhatian para pejalan
kaki.
“Kalian tadi berantem kok, padahal
kita ini berada pada satu negara yang sama, padahal untuk menjaga persatuan
negara kita tidak boleh saling berantem karena itu dapat menimbulkan perpecahan,
maka seperti yang ada di wawasan nusantara kita tidak boleh mementingkan
kepentingan pribadi, diatas kepentingan negara” Tambah anak itu memperlihatkan kesalah pahaman
yang menambah tentang yang baru saja mereka lakukan.
“Oh, nak, tadi kamu bilang
sesuatu bernama wawasan nusantara, wawasan nusantara itu apa sih ?” ucap Gleder,
penasaran di waktu yang salah.
“Wawasan Nusantara itu adalah cara pandang terhadap bangsa dengan
tujuan menjaga persatuan dan kesatuan, salah satu cara pewujudannya seperti
yang aku bilang tadi yaitu mementingkan kepentingan nasional dibanding
kepentingan pribadi atau golongan tertentu,” jelas anak kecil itu
“Kertas yang kamu pegang itu apa ?” Ucap
Gluduk mencoba mengalihkan pembicaraan
“Oh, iya, jadi sebenarnya
aku ingin meminta bantuan pada kakak-kakak. Based on the text of this
announcement, where will the Math Competition be held?” Anak itu bertanya,
menyerahkan selebarannya pada Gluduk dan Gleder.
“It is written here that
the event will be held online, so there is no need to come to the competition
location.” Gluduk menjelaskan dengan bahasa Inggris yang fasih.
“The event will be held in
March. You may still be able to register now." Gleder ikut membungkuk,
menunjukkan bagian link pendaftaran pada anak itu. “Because there is no written
registration date limit, you can call the contact number provided and ask for
more details.” Jelasnya lagi.
Anak kecil itu
mengangguk-angguk, lantas tersenyum. “Baik, aku mengerti. Thank you,
kakak-kakak!” Ujarnya seraya melambaikan tangan.
Berkat ceramah singkat dari anak itu, kedua penyihir tanpa sihir itu
akhirnya sepakat untuk berdamai. Dipicu oleh keruyuk perut Gleder, mereka pun
menghampiri sebuah restoran sebagai bentuk perayaan perdamaian.
Restoran itu termasuk salah satu restoran favorit di wilayah mereka, dan
terkenal karena rasa makanan mereka yang sangat lezat, Gluduk pun memesan mie udang
ebi, dan Gleder memesan kornet goreng.
“Aku juga suka udang ebi, itu berasal dari Indonesia, kan. Dibuat dengan
cara mengeringkan udang, makanan itu bergizi dan enak sekali.” Gleder membuka
percakapan
“Aku juga suka kornet, berasal dari daging sapi, dan diawetkan dalam air
garam, oh ya kamu tahu atau tidak, sih, kornet akan lebih enak dimakan jika
dicampur dengan pasta, atau mi goreng.” Gluduk menjawab.
“Kalau sihir kita nanti tidak kembali, ayo kita jual makanan awetan
hewani seperti ini saja.” Gleder memberi ide.
“Tidak buruk,” Gluduk terkekeh. “Modalnya pasti cukup besar, karena kita
butuh pekerja, suplai daging sapi, juga mesin-mesin yang canggih untuk mengolah
daging sampai pengemasan. Tapi pasar penjualan kornet menurutku cukup
menjanjikan. Terlebih kalau nanti iklim ini tidak berhasil kita benahi, krisis
bahan pangan akan membuat orang-orang berburu makanan awetan yang tahan lama
sebagai persediaan.”
Gluduk dan Gleder saling melontarkan percakapan basa-basi, hal ini dapat
terlihat sebagai bukti perdamaian mereka, semua masalah yang mereka lewati
bersama membuat mereka menjadi lebih dekat
Setelah menghabiskan makanannya, Gluduk menyandarkan punggung, mengamati
sekeliling. Ia melihat bagaimana dinding restoran itu dipenuhi poster-poster
yang memicu naiknya selera makan pengunjung. “Aku punya ide.” Ia menjentikkan
jari. “Bagaimana kalau kita membuat film tentang penyelamatan lingkungan, dan
mengiklankannya di seluruh dunia?”
Gleder berpikir sebentar, “Idemu bagus, tapi agak tidak masuk akal.”
“Tidak apa-apa, namanya juga cerita fantasi.” Gluduk mengendikkan bahu.
Mereka berdua saling bertatapan sebelum akhirnya mengulas senyum.
“Benar juga.”
Komentar
Posting Komentar