Proyek BBL E-Cerpen Tema 3-4 - Toko Kue Livina
BBL E- Cerpen Tema 3-4 -- Semester 5
Mariza XI MIPA 1/21 & Vannya XI MIPA 1/29
Toko Kue Livina
Padat pasang berturung naik.—peribahasa
yang artinya nasib seseorang tidak selalu tetap, senang dan susah silih
berganti. Nasibku berubah 90 derajat saat fonograf tua di gudang nenekku
ternyata tersambung dengan layanan 24 jam alam surgawi, dan seorang malaikat menyelesaikan
semua masalah hidupku seperti melemparkan upil di ujung jari. Amat sangat hebat.
Segala susah segera terhempas,
dan kesenangan menggulungku seperti tsunami.
Aku yang putus asa menyusup ke
gudang nenek seperti kecoak. Telepon rentenir tak kunjung berhenti menggetarkan
ponsel. Manusia yang penuh dosa ini ingin mencuri barang untuk dijual ke pasar
loak. Gudang itu pengap dan jamuran. Rak besar di salah satu sisinya lapuk, dan
lemari di sisi lainnya keropos dimakan rayap. Kaset, hiasan dinding, kabel
bekas, keset usang—tak ada barang yang menarik untuk dijarah pada rak yang
lapuk. Namun beruntungnya, aku menemukan harta karun di lemari yang hampir
rubuh itu.
Sebuah fonograf tua teronggok tak
berdaya di rak paling bawah. Benda itu terbuat dari kuningan murni dari kotak
sampai corongnya. Warnanya sudah pudar, tapi kemungkinan masih laku di pasaran.
Saat kuputar, rongsokan itu
menjerit seperti wanita kecopetan, “Heee! Kamu ketahuan!” Suara itu lembut dan
merdu, namun sebagai orang normal, aku terkejut dibuatnya.
“Aku?” gumamku pada diri sendiri.
“Iya, kamu, Vany.” Katanya,
membuatku terkagum-kagum. “Kamu tahu namaku.”
“Kamu jangan mencuri.” Ujarnya
lagi, “Mencuri itu dosa.”
“Tapi aku butuh uang,” Aku
memelas.
“Aku tahu.”
***
Fonograf rosok yang ajaibnya bisa
bicara itu memberiku kiat sukses. Maka disinilah aku berada sekarang, di
belakang etalase warung tanpa pengunjung. Beberapa bulan yang lalu, tempat ini
kusewa dengan harapan meja-meja akan selalu terisi pelanggan, dan dapurku akan
terus mengepulkan asap. Namun nihil, semuanya hanya angan-angan belaka. Kini
etalase besar itu terisi beberapa kue jamuran yang menguarkan bau busuk seperti
kaos dalam. Kue-kue tradisional yang tidak laku. Aku malas, belum berminat
membersihkannya.
Kembali mengenai kiat sukses,
fonograf rosok itu menyuruhku untuk menyusup ke sebuah tempat. Dan langkah
pertama yang harus kulakukan untuk menjalankan misi penyusupan itu adalah
menulis surat lamaran pekerjaan. Kenapa surat lamaran pekerjaan? Karena tempat
yang akan kususupi itu sedang membuka kesempatan emas. Tempat paling terkenal
di kota ini, Toko Kue Livina yang sedang mencari karyawati.
Kiat yang diberikan fonograf
rosok itu sebenarnya sangat sederhana. Untuk menjadi sukses, aku harus belajar
dari mereka yang sukses. Kami sama-sama menjual kue tradisional, bedanya, toko
miliknya menghasilkan uang sedangkan milikku berakhir jamuran.
“Diterima!” Perekrut sekaligus
pemilik toko kue itu memberi aku sambutan hangat.
Perempuan itu masih muda. Jadi ia
tak mau dipanggil Ibu ataupun Ibu Bos. Namanya Livina, seperti nama toko
ini. Dia minta dipanggil Ivin, dan aku
diizinkan untuk bicara santai dengannya.
Ivin memintaku langsung
membantunya bekerja. Menu andalan toko ini adalah Putu Ayu kekinian.
Orang-orang menyukai rasa putu ayu yang dipadukan dengan isian keju dan coklat
itu. Hal ini adalah pelajaran pertama yang bisa kuserap di tempat ini. Toko kue
Livina memiliki produk yang inovatif dan unik, sehingga bisa mengungguli putu ayu buatan orang lain (termasuk aku).
Ivin bisa menjual sampai ratusan biji putu ayu per harinya.
Kini perempuan itu memakai masker
dan apron, menjepit rambutnya, lalu menghilang di balik pintu dapur. Ivin
bekerja di sana hampir sepanjang hari, sedangkan aku bertugas melayani
pelanggan di etalase toko bersama beberapa pekerja lainnya.
Hal ini adalah berita buruk,
karena aku menarget Ivin sebagai objek pembelajaranku di tempat ini. Aku harus
menyusup ke dapur.
“Kak,” Aku mendapat sebuah ide
brilian, “Ajari aku memakai vacuum cleaner, dong.”
Betul, misiku adalah membersihkan
seluruh inci toko kue ini dari debu. Dan begitulah caranya aku diizinkan masuk
ke dapur.
***
“Wah, Vany rajin sekali.” Ivin
sedang duduk terkulai di samping kompor. Wajahnya banjir peluh, dan kepalanya
bertumpu pada sandaran bangku. Perempuan itu sedang beristirahat sembari
menunggu adonan dalam panci kukusan mengeras.
“Hehehe, terima kasih.” Kataku,
mulai mendekati rak penyimpanan di belakangnya. Sebisa mungkin kupaksa otak
kecilku mengingat semua bahan yang tersimpan disana.
“Saya senang melihat orang yang
bekerja keras seperti kamu,” ujarnya, memecah keheningan. Aku membalik badan
menghadap ke arahnya. Baru aku sadar, tangan Ivin terluka. Sebagian punggung
tangannya melepuh, namun ia tampak biasa saja. Mungkin Ivin sudah sering
mendapat jejak cinta semacam itu dari pekerjaannya. Aku pun tak ambil pusing,
toh tubuh manusia melakukan pembelahan sel yang berfungsi untuk memperbaiki sel
tubuh yang rusak dan mati. Luka itu tidak parah, dan akan segara membaik sendiri.
“Saya selalu bekerja sepenuh
hati, hehehe.” Aku mengangguk sambil pura-pura tersipu.
“Bagus, Vany. Melakukan pekerjaan
dengan tulus, kita manusia mempertahankan hidup, melayani kebutuhan sesama dan
diri sendiri. Dulu sekali, saya juga bersungguh-sungguh mempertahankan hakekat
kerja ini dalam hidup saya. Eh, ternyata Tuhan memberkati usaha saya dan
membesarkan toko ini sampai seperti sekarang.” Jelasnya panjang lebar. Aku
lumayan terpukul mendengarnya. Aku bukanlah orang tulus seperti yang Ivin
katakan.
“Sesibuk apapun kamu bekerja,
saran saya jangan pernah meninggalkan doa, Vany. Doa dan kerja itu adalah
hubungan yang penting. Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja
lebih tekun dan sabar.” Pungkas Ivin sebelum bangkit berdiri. Rupanya kue dalam
panci kuku situ sudah matang.
Dengan perasaan yang super tidak
enak, aku memaksakan diri untuk melanjutkan misiku. “Ivin tidak butuh bantuan
di dapur, kah? Pekerjaan di sini sepertinya banyak dan berat sekali.”
Perempuan itu lantas berbalik dan
mengangguk. “Boleh juga. Kamu bantu saya mencetak adonan selanjutnya, ya!”
Yes! Aku berhasil.
***
Aku tidak bisa tidur. Beberapa
hari berlalu sejak aku bekerja di toko Ivin, dan selama itu aku kesulitan tidur
di malam hari. Rasa bersalah menggerogoti nuraniku dari hari ke hari. Ivin
sungguh adalah orang yang baik. Memusingkan.
Perempuan itu bekerja keras
sendirian. Dia jujur dan tekun. Kini pun ia sedang serius meneliti data
penjualan. Benar-benar mengagumkan.
“Apa ada yang kurang, Kak?” Tanya
salah seorang pekerja.
Ivin menggeleng di balik meja
kasirnya. “Tidak, kok. Penjualan bagus dan mencapai break event point.
Hanya saja beberapa hari ini omset kita
sedikit menurun. Coba gencarkan lagi promosi di media sosial. Menjelang Natal,
kita buat paket kue hantaran.” Ujarnya, diangguki oleh seorang pekerja.
Kembali aku mendapat pelajaran
dari Ivin. Kondisi penjualan memang tidak selalu bagus. Dahulu, saat aku
mengalami penurunan seperti ini, aku malah mengomel tanpa melakukan apa-apa.
Sedangkan Ivin dengan cepat memikirkan jalan keluar dan memanfaatkan setiap
peluang. Aku merasa malu.
“Ivin,” panggilku. “Aku mau
membicarakan sesuatu.”
Benar, sesuatu dalam kepalaku
pasti sedikit terguncang. Tanpa sempat pikir panjang, kini aku sudah duduk
berhadapan dengan majikanku itu di ruang kerjanya.
“Aku mau mengakui sesuatu.”
Kataku, habislah sudah.
Aku menceritakan semuanya. Motif
awal aku bekerja di sini, masalah yang kualami, hingga segala hal licik yang
diam-diam kulakukan. Selama itu Ivin tidak bereaksi dan hanya diam
mendengarkan. Hal tersebut membuatku takut aku tidak memiliki gambaran tentang
apa yang dipikirkannya.
Aku sungguh tidak siap kalau
sedetik lagi perempuan ini akan meledak sambil menampol wajahku.
“Vany, terima kasih kamu sudah
berani jujur.” Di luar dugaan, Ivin justru menepuk pundakku lembut. Saat aku
mengangkat wajah, kudapati wanita itu tersenyum sembari menerawang jauh ke pintu
ruangan.
“Kamu bukan pekerja pertama yang
memiliki niat seperti itu, Vany. Sejak toko ini mulai dikenal, banyak pesaing
yang masuk sebagai musuh dalam selimut. Dari awal aku juga sudah tahu kalau
kamu memiliki niat lain.” Ujarnya, membuat aku terkejut setengah mati. Ia sudah
tahu sejak awal?
Seolah mengetahui isi kepalaku,
perempuan itu menjelaskan, “Di cv yang kamu kirim, pengalaman kerja yang kamu
tulis adalah mengelola toko kue selama beberapa bulan. Untuk apa seorang
pemilik toko datang bekerja sebagai karyawan?”
“Aku sungguh menyesal.” Aku
menunduk dalam, wajahku panas. Aku sangat malu dan ingin pulang sekarang juga.
“Tidak apa-apa, Vany. Paling
tidak kamu berkata jujur. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang pernah mengakui
hal ini kepadaku.” Ivin berusaha membesarkan hatiku. Kali ini, aku benar-benar
meledak. Semua rasa malu yang kubendung itu keluar lewat air mata. Aku menangis
sampai jelek di depan wajahnya.
***
“Pemalas,” Fonograf ajaib yang
kupungut beberapa bulan silam itu mengoceh lagi. Mungkin memang sudah waktunya
benda ini kujual ke pasar loak. “Kamu ini bukannya bekerja, malah santai-santai
membaca novel.”
“Buku ini bagus, Tokoh Aku yang
digambarkan di buku ini memiliki pemikiran yang dalam mengenai kehidupan
manusia di dunia. Dan dengan pemikirannya itu, tokoh Aku bisa menyadari
pentingnya makna dalam hidup. Juga bagaimana makna hidup itu dapat tercipta
melalui kesan yang kita tinggalkan dalam relasi kita dengan orang lain.
Benar-benar mirip si Ivin, bukan?” Celotehku.
“Oh, Ivin mantan majikanmu itu?”
“Iya,” Aku mengangguk.
Hari dimana aku mengakui semuanya
itu menjadi hari terakhir aku bekerja di Toko Kue Livina. Aku tidak dipecat,
bahkan Ivin sempat menolak surat pengunduran diri yang kuserahkan.
Tapi aku tetap mundur. Aku ingin
memulai ulang. Meskipun dengan cara yang buruk, aku sudah cukup belajar dari
cara Ivin bekerja. Aku akan sukses dengan cara yang jujur, benar, dan adil.
Harus kuakui, kue buatanku memang
tidak cukup enak. Saat menceritakan hal ini, Ivin menawarkan sebuah jalan
keluar yang cukup brilian. Kami membuat sebuah perjanjian untuk menerapkan
sistem konsinyasi. Ivin sebagai pemilik produk akan menyerahkan barangnya untuk
kujual dengan komisi yang sudah kami sepakati.
Untuk menyiasati letak toko yang
kurang strategis, aku memutuskan untuk memanfaatkan teknologi dengan
mendaftarkan tokoku ke aplikasi layanan pesan-antar makanan. Bermodal ponsel
dan koneksi internet, aku mengakses cara pendaftaran tersebut.
1. 1. Download the GoBiz application on the
PlayStore via your Android smartphone or tablet device.
2. 2. After the application is installed, you
will be asked to fill in some data so that you can enter and register in the
GoBiz application.
3. 3. Complete the business data information.
4. 4. Verify after the business data is
approved by the application.
5. 5. The seller's account will be active and
can be used within 14 days.
Aplikasi tersebut ternyata
memiliki peluang yang bagus. Di era digital ini, semua orang memakai
memanfaatkan ponsel dan koneksi internet. Fitur layanan seperti ini tentu
sangat mudah diakses dan efisien untuk digunakan. Hal ini menjadi peluang
untukku, dan benar saja, dari hari ke hari semakin banyak orang yang
menggunakan aplikasi layanan pesan antar makanan tersebut.
Dari sini, kalian bisa simpulkan
sendiri. Perkataan si fonograf rosok ajaib tadi tidak ada benarnya. Aku ini
bukannya sedang bermalas-malasan, tetapi memang sedang tidak ada pekerjaan.
Tokoku sudah bisa mempekerjakan seorang pegawai dan aku pun tak perlu memasak
sendiri.
Aku punya banyak waktu luang,
yang belakangan ini kumanfaatkan untuk mempelajari hal baru. Sebuah kemampuan
yang tidak kuduga akan menyenangkan.
Aku mencoba Bertani cabai.
Kumanfaatkan pekarangan belakang rumahku. Gosip yang kudengar mengatakan bahwa sayuran
segar kini bisa dipasarkan melalui sebuah aplikasi yang mirip layanan pesan
antar makanan yang kini kupakai. Peluang ini menguarkan aroma uang yang sangat
pekat, tentu saja tidak boleh kulewatkan.
Bermodal ilmu biologi dan
beberapa seminar, aku mempelajari cara persilangan cabai. Cabai merah dengan
cabai hijau bisa menghasilkan keturunan cabai merah semua. Dasar ilmunya adalah
persilangan monohobrid.
Kepintaranku yang tumbuh secara tidak
terduga ini cukup menaikkan level diriku. Beberapa waktu lalu, wajahku
terpampang di artikel portal berita lokal.
Begitulah, nasibku sudah berubah.
Sepertinya di masa depan aku bisa menjadi orang kaya.
Selesai
Komentar
Posting Komentar