Proyek BBL E-Cerpen Tema 3-4 - Toko Kue Livina

 BBL E- Cerpen Tema 3-4 -- Semester 5

Mariza XI MIPA 1/21 & Vannya XI MIPA 1/29


Toko Kue Livina



Padat pasang berturung naik.—peribahasa yang artinya nasib seseorang tidak selalu tetap, senang dan susah silih berganti. Nasibku berubah 90 derajat saat fonograf tua di gudang nenekku ternyata tersambung dengan layanan 24 jam alam surgawi, dan seorang malaikat menyelesaikan semua masalah hidupku seperti melemparkan upil di ujung jari. Amat sangat hebat.

Segala susah segera terhempas, dan kesenangan menggulungku seperti tsunami.

***

Aku yang putus asa menyusup ke gudang nenek seperti kecoak. Telepon rentenir tak kunjung berhenti menggetarkan ponsel. Manusia yang penuh dosa ini ingin mencuri barang untuk dijual ke pasar loak. Gudang itu pengap dan jamuran. Rak besar di salah satu sisinya lapuk, dan lemari di sisi lainnya keropos dimakan rayap. Kaset, hiasan dinding, kabel bekas, keset usang—tak ada barang yang menarik untuk dijarah pada rak yang lapuk. Namun beruntungnya, aku menemukan harta karun di lemari yang hampir rubuh itu.

Sebuah fonograf tua teronggok tak berdaya di rak paling bawah. Benda itu terbuat dari kuningan murni dari kotak sampai corongnya. Warnanya sudah pudar, tapi kemungkinan masih laku di pasaran.

Saat kuputar, rongsokan itu menjerit seperti wanita kecopetan, “Heee! Kamu ketahuan!” Suara itu lembut dan merdu, namun sebagai orang normal, aku terkejut dibuatnya.

“Aku?” gumamku pada diri sendiri.

“Iya, kamu, Vany.” Katanya, membuatku terkagum-kagum. “Kamu tahu namaku.”

“Kamu jangan mencuri.” Ujarnya lagi, “Mencuri itu dosa.”

“Tapi aku butuh uang,” Aku memelas.

“Aku tahu.”

 

***

 

Fonograf rosok yang ajaibnya bisa bicara itu memberiku kiat sukses. Maka disinilah aku berada sekarang, di belakang etalase warung tanpa pengunjung. Beberapa bulan yang lalu, tempat ini kusewa dengan harapan meja-meja akan selalu terisi pelanggan, dan dapurku akan terus mengepulkan asap. Namun nihil, semuanya hanya angan-angan belaka. Kini etalase besar itu terisi beberapa kue jamuran yang menguarkan bau busuk seperti kaos dalam. Kue-kue tradisional yang tidak laku. Aku malas, belum berminat membersihkannya.

Kembali mengenai kiat sukses, fonograf rosok itu menyuruhku untuk menyusup ke sebuah tempat. Dan langkah pertama yang harus kulakukan untuk menjalankan misi penyusupan itu adalah menulis surat lamaran pekerjaan. Kenapa surat lamaran pekerjaan? Karena tempat yang akan kususupi itu sedang membuka kesempatan emas. Tempat paling terkenal di kota ini, Toko Kue Livina yang sedang mencari karyawati.

Kiat yang diberikan fonograf rosok itu sebenarnya sangat sederhana. Untuk menjadi sukses, aku harus belajar dari mereka yang sukses. Kami sama-sama menjual kue tradisional, bedanya, toko miliknya menghasilkan uang sedangkan milikku berakhir jamuran.

“Diterima!” Perekrut sekaligus pemilik toko kue itu memberi aku sambutan hangat.

Perempuan itu masih muda. Jadi ia tak mau dipanggil Ibu ataupun Ibu Bos. Namanya Livina, seperti nama toko ini.  Dia minta dipanggil Ivin, dan aku diizinkan untuk bicara santai dengannya.

Ivin memintaku langsung membantunya bekerja. Menu andalan toko ini adalah Putu Ayu kekinian. Orang-orang menyukai rasa putu ayu yang dipadukan dengan isian keju dan coklat itu. Hal ini adalah pelajaran pertama yang bisa kuserap di tempat ini. Toko kue Livina memiliki produk yang inovatif dan unik, sehingga bisa mengungguli  putu ayu buatan orang lain (termasuk aku). Ivin bisa menjual sampai ratusan biji putu ayu per harinya.

Kini perempuan itu memakai masker dan apron, menjepit rambutnya, lalu menghilang di balik pintu dapur. Ivin bekerja di sana hampir sepanjang hari, sedangkan aku bertugas melayani pelanggan di etalase toko bersama beberapa pekerja lainnya.

Hal ini adalah berita buruk, karena aku menarget Ivin sebagai objek pembelajaranku di tempat ini. Aku harus menyusup ke dapur.

“Kak,” Aku mendapat sebuah ide brilian, “Ajari aku memakai vacuum cleaner, dong.”

Betul, misiku adalah membersihkan seluruh inci toko kue ini dari debu. Dan begitulah caranya aku diizinkan masuk ke dapur.

***

“Wah, Vany rajin sekali.” Ivin sedang duduk terkulai di samping kompor. Wajahnya banjir peluh, dan kepalanya bertumpu pada sandaran bangku. Perempuan itu sedang beristirahat sembari menunggu adonan dalam panci kukusan mengeras.

“Hehehe, terima kasih.” Kataku, mulai mendekati rak penyimpanan di belakangnya. Sebisa mungkin kupaksa otak kecilku mengingat semua bahan yang tersimpan disana.

“Saya senang melihat orang yang bekerja keras seperti kamu,” ujarnya, memecah keheningan. Aku membalik badan menghadap ke arahnya. Baru aku sadar, tangan Ivin terluka. Sebagian punggung tangannya melepuh, namun ia tampak biasa saja. Mungkin Ivin sudah sering mendapat jejak cinta semacam itu dari pekerjaannya. Aku pun tak ambil pusing, toh tubuh manusia melakukan pembelahan sel yang berfungsi untuk memperbaiki sel tubuh yang rusak dan mati. Luka itu tidak parah, dan akan segara membaik sendiri.

“Saya selalu bekerja sepenuh hati, hehehe.” Aku mengangguk sambil pura-pura tersipu.

“Bagus, Vany. Melakukan pekerjaan dengan tulus, kita manusia mempertahankan hidup, melayani kebutuhan sesama dan diri sendiri. Dulu sekali, saya juga bersungguh-sungguh mempertahankan hakekat kerja ini dalam hidup saya. Eh, ternyata Tuhan memberkati usaha saya dan membesarkan toko ini sampai seperti sekarang.” Jelasnya panjang lebar. Aku lumayan terpukul mendengarnya. Aku bukanlah orang tulus seperti yang Ivin katakan.

“Sesibuk apapun kamu bekerja, saran saya jangan pernah meninggalkan doa, Vany. Doa dan kerja itu adalah hubungan yang penting. Doa dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun dan sabar.” Pungkas Ivin sebelum bangkit berdiri. Rupanya kue dalam panci kuku situ sudah matang.

Dengan perasaan yang super tidak enak, aku memaksakan diri untuk melanjutkan misiku. “Ivin tidak butuh bantuan di dapur, kah? Pekerjaan di sini sepertinya banyak dan berat sekali.”

Perempuan itu lantas berbalik dan mengangguk. “Boleh juga. Kamu bantu saya mencetak adonan selanjutnya, ya!” 

Yes! Aku berhasil.

 

***

Aku tidak bisa tidur. Beberapa hari berlalu sejak aku bekerja di toko Ivin, dan selama itu aku kesulitan tidur di malam hari. Rasa bersalah menggerogoti nuraniku dari hari ke hari. Ivin sungguh adalah orang yang baik. Memusingkan.

Perempuan itu bekerja keras sendirian. Dia jujur dan tekun. Kini pun ia sedang serius meneliti data penjualan. Benar-benar mengagumkan.

“Apa ada yang kurang, Kak?” Tanya salah seorang pekerja.

Ivin menggeleng di balik meja kasirnya. “Tidak, kok. Penjualan bagus dan mencapai break event point. Hanya saja  beberapa hari ini omset kita sedikit menurun. Coba gencarkan lagi promosi di media sosial. Menjelang Natal, kita buat paket kue hantaran.” Ujarnya, diangguki oleh seorang pekerja.

Kembali aku mendapat pelajaran dari Ivin. Kondisi penjualan memang tidak selalu bagus. Dahulu, saat aku mengalami penurunan seperti ini, aku malah mengomel tanpa melakukan apa-apa. Sedangkan Ivin dengan cepat memikirkan jalan keluar dan memanfaatkan setiap peluang. Aku merasa malu.

“Ivin,” panggilku. “Aku mau membicarakan sesuatu.”

Benar, sesuatu dalam kepalaku pasti sedikit terguncang. Tanpa sempat pikir panjang, kini aku sudah duduk berhadapan dengan majikanku itu di ruang kerjanya.

“Aku mau mengakui sesuatu.” Kataku, habislah sudah.

Aku menceritakan semuanya. Motif awal aku bekerja di sini, masalah yang kualami, hingga segala hal licik yang diam-diam kulakukan. Selama itu Ivin tidak bereaksi dan hanya diam mendengarkan. Hal tersebut membuatku takut aku tidak memiliki gambaran tentang apa yang dipikirkannya.

Aku sungguh tidak siap kalau sedetik lagi perempuan ini akan meledak sambil menampol wajahku.

“Vany, terima kasih kamu sudah berani jujur.” Di luar dugaan, Ivin justru menepuk pundakku lembut. Saat aku mengangkat wajah, kudapati wanita itu tersenyum sembari menerawang jauh ke pintu ruangan.

“Kamu bukan pekerja pertama yang memiliki niat seperti itu, Vany. Sejak toko ini mulai dikenal, banyak pesaing yang masuk sebagai musuh dalam selimut. Dari awal aku juga sudah tahu kalau kamu memiliki niat lain.” Ujarnya, membuat aku terkejut setengah mati. Ia sudah tahu sejak awal?

Seolah mengetahui isi kepalaku, perempuan itu menjelaskan, “Di cv yang kamu kirim, pengalaman kerja yang kamu tulis adalah mengelola toko kue selama beberapa bulan. Untuk apa seorang pemilik toko datang bekerja sebagai karyawan?”

“Aku sungguh menyesal.” Aku menunduk dalam, wajahku panas. Aku sangat malu dan ingin pulang sekarang juga.

“Tidak apa-apa, Vany. Paling tidak kamu berkata jujur. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang pernah mengakui hal ini kepadaku.” Ivin berusaha membesarkan hatiku. Kali ini, aku benar-benar meledak. Semua rasa malu yang kubendung itu keluar lewat air mata. Aku menangis sampai jelek di depan wajahnya.

 

***

“Pemalas,” Fonograf ajaib yang kupungut beberapa bulan silam itu mengoceh lagi. Mungkin memang sudah waktunya benda ini kujual ke pasar loak. “Kamu ini bukannya bekerja, malah santai-santai membaca novel.”

“Buku ini bagus, Tokoh Aku yang digambarkan di buku ini memiliki pemikiran yang dalam mengenai kehidupan manusia di dunia. Dan dengan pemikirannya itu, tokoh Aku bisa menyadari pentingnya makna dalam hidup. Juga bagaimana makna hidup itu dapat tercipta melalui kesan yang kita tinggalkan dalam relasi kita dengan orang lain. Benar-benar mirip si Ivin, bukan?” Celotehku.

“Oh, Ivin mantan majikanmu itu?”

“Iya,” Aku mengangguk.

Hari dimana aku mengakui semuanya itu menjadi hari terakhir aku bekerja di Toko Kue Livina. Aku tidak dipecat, bahkan Ivin sempat menolak surat pengunduran diri yang kuserahkan.

Tapi aku tetap mundur. Aku ingin memulai ulang. Meskipun dengan cara yang buruk, aku sudah cukup belajar dari cara Ivin bekerja. Aku akan sukses dengan cara yang jujur, benar, dan adil.

Harus kuakui, kue buatanku memang tidak cukup enak. Saat menceritakan hal ini, Ivin menawarkan sebuah jalan keluar yang cukup brilian. Kami membuat sebuah perjanjian untuk menerapkan sistem konsinyasi. Ivin sebagai pemilik produk akan menyerahkan barangnya untuk kujual dengan komisi yang sudah kami sepakati.

Untuk menyiasati letak toko yang kurang strategis, aku memutuskan untuk memanfaatkan teknologi dengan mendaftarkan tokoku ke aplikasi layanan pesan-antar makanan. Bermodal ponsel dan koneksi internet, aku mengakses cara pendaftaran tersebut.

1.    1.   Download the GoBiz application on the PlayStore via your Android smartphone or tablet device.

2.    2. After the application is installed, you will be asked to fill in some data so that you can enter and register in the GoBiz application.

3.     3. Complete the business data information.

4.     4. Verify after the business data is approved by the application.

5.     5. The seller's account will be active and can be used within 14 days.

Aplikasi tersebut ternyata memiliki peluang yang bagus. Di era digital ini, semua orang memakai memanfaatkan ponsel dan koneksi internet. Fitur layanan seperti ini tentu sangat mudah diakses dan efisien untuk digunakan. Hal ini menjadi peluang untukku, dan benar saja, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menggunakan aplikasi layanan pesan antar makanan tersebut. 

Dari sini, kalian bisa simpulkan sendiri. Perkataan si fonograf rosok ajaib tadi tidak ada benarnya. Aku ini bukannya sedang bermalas-malasan, tetapi memang sedang tidak ada pekerjaan. Tokoku sudah bisa mempekerjakan seorang pegawai dan aku pun tak perlu memasak sendiri.

Aku punya banyak waktu luang, yang belakangan ini kumanfaatkan untuk mempelajari hal baru. Sebuah kemampuan yang tidak kuduga akan menyenangkan.

Aku mencoba Bertani cabai. Kumanfaatkan pekarangan belakang rumahku. Gosip yang kudengar mengatakan bahwa sayuran segar kini bisa dipasarkan melalui sebuah aplikasi yang mirip layanan pesan antar makanan yang kini kupakai. Peluang ini menguarkan aroma uang yang sangat pekat, tentu saja tidak boleh kulewatkan.

Bermodal ilmu biologi dan beberapa seminar, aku mempelajari cara persilangan cabai. Cabai merah dengan cabai hijau bisa menghasilkan keturunan cabai merah semua. Dasar ilmunya adalah persilangan monohobrid.  

Kepintaranku yang tumbuh secara tidak terduga ini cukup menaikkan level diriku. Beberapa waktu lalu, wajahku terpampang di artikel portal berita lokal.

 



 

Begitulah, nasibku sudah berubah. Sepertinya di masa depan aku bisa menjadi orang kaya.

 

Selesai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Komentar

Postingan Populer