Proyek BBL E-Cerpen Tema 10 - Iblis Hari Senin

 


Iblis Hari Senin

Mariza X MIPA 1/21 dan Vannya X MIPA 1/29

SMAK Santa Maria Malang


            Bab pertama dari buku Jika Kucing Lenyap dari Dunia—karya Genki Kawamura—memiliki judul “Hari Senin: Iblis Muncul”. Aku setuju 100 persen dengan pernyataan itu. Hari ini adalah hari Senin, dan Iblis bernama Susanti muncul dari tub pasta gigiku.

Bentuknya seperti jamur payung, dengan panca indera lengkap layaknya manusia. Kalau kalian pernah menonton film animasi Smurf, seperti itulah gambaran Susanti (hal yang membedakan mereka hanya kulit Susanti tidak biru—melainkan cokelat susu, dan struktur wajahnya benar-benar seperti manusia).

Saat aku menceritakan penemuan tentang Susanti kepada Ibu, beliau mengangkat wajan sembari menodongku untuk menyerahkan Susanti sebagai menu sarapan kami. Sedangkan temanku Vanny menjerit sembari mengatakan, “Itu namanya Jenglot!” Padahal jelas sekali bahwa Susanti bukanlah mahkluk semacam itu. Maka kuputuskan untuk berhenti memamerkan Susanti dan kembali menjalani hidupku seperti orang bersahaja.

Adik perempuanku adalah satu-satunya orang yang bersemangat menanggapi kehadiran Susanti dalam keluarga kecil kami. “Terima kasih, Lumina.” Ujarku, membagi separuh telur dadar di piringku sebagai bentuk balas budi. Pada pemungutan suara tadi pagi, Ibu yang ingin Susanti dibuang atau digoreng menjadi menu sarapan kalah skor 2-1 berkat pilihan anak bungsunya itu. Keputusan ini masih belum bulat, sebab kami masih belum menerima pendapat Ayah yang masih pergi melangsungkan perjalanan bisnis ke luar negeri.

“Tapi kok bisa, sih, odol berubah jadi Susanti?” Lumina bertanya sambil dengan senang hati menerima telur dadarku.

“Kau mau dengar ceritanya?” Aku menawarkan.

“Ehsan, jangan lupa sosisnya!” Ibu berteriak dari dapur, sedang membuat tambahan adonan sosis. Akhir-akhir ini Ibu terobsesi berbisnis sendiri. Ia membuat sosis ayam rumahan yang tidak laku. Sejauh pengetahuanku, tidak satupun sosis buatannya itu terjual dengan normal. Aku lihat sendiri Ibu memasarkan produknya dengan sedikit menekan Ibu temanku dan teman-temannya.

Karena aku anak yang baik, aku selalu membantu Ibu setiap pulang sekolah. Lagi pula hasil penjualan sosis digunakan Ibu untuk menambah uang jajanku, jadi tidak ada alasan untuk aku tidak melakukannya. Tugasku adalah mengisi plastik khusus sosis dengan adonan sosis yang dibuat Ibu. Dalam seminggu, rumah kami bisa memproduksi hingga 30 sosis, yang dijual seharga Rp 3.000 rupiah per buahnya. 

Ah, dalam hal ini biarkan aku sedikit pamer. Berkat pelajaran wirausaha di sekolah, aku bisa menentukan harga pokok penjualan sebuah produk. Cukup dengan menerapkan rumus inventory cost + biaya overhead. Dari harga pokok penjualan ini, bisa diketahui laba bersih yang didiapat, yaitu dengan dikurangkan biaya tetap produksi (meliputi biaya listrik, air, dan upah kerjaku).

“Begini kronologinya,” Aku mulai bercerita sembari menggarap adonan. Lumina menyimak antusias. “Tadi pagi, bangun tidur, seperti biasa aku berdiri di depan wastafel untuk menganalisis wajahku yang bengkak pada pantulan cermin.” Lumina mendengus mendengarnya.

“Ini sungguhan, Dik!” aku menghardik. “Aku juga kaget! Saat mau sikat gigi, odol yang kupencet malah mengeluarkan adonan coklat benyek seperti,” Mulut penuh Lumina yang sedang mengunyah dan air wajahnya yang perlahan berubah keruh membuatku berhenti bicara.

“Intinya begitu.” Pungkasku, “Setelahnya, bubur Susanti yang keluar itu menggumpal dan mengeras menjadi wujudnya yang sekarang.” Aku mengendikkan bahu. Lumina mengangguk, tak lagi berkomentar.

Adikku segera menyelesaikan sarapannya dan pindah ke ruang TV. Kebetulan Senin ini adalah tanggal merah dan sekolah kami diliburkan. Lumina menonton tayangan kartun kesukaannya.

Ibu datang dari dapur dengan sebaskom adonan tambahan. Ia duduk di depanku menggantikan Lumina. “Omong-omong, calon jamur krispi itu bisa bicara?” Tanya Ibu tiba-tiba.

“Dia tidak berbunyi.” Aku menggeleng, lantas menambahkan dengan tatapan ngeri, “Susanti jangan dijadikan jamur krispi, Bu!”

Ibuku terlihat santai, ikut mewadahi adonan. “Lalu kau tahu dari mana kalau namanya Susanti?” 

Pertanyaan Ibu membuatku terdiam seketika. Bagaimana aku tahu namanya adalah Susanti? Rasanya seperti sesuatu mengendalikan otakku untuk berpikir bahwa namanya adalah Susanti, manusia jamur payung yang lucu sekali. Sekujur tubuhku merinding. Terngiang di kepalaku pekikan Vanny pagi tadi, “Itu namanya Jenglot!”

Jenglot…

“Bu, apa sebaiknya kita goreng saja?”

“Apa?”

“Tidak,” aku menggeleng cepat, berlari menuju kamar.

Susanti kusimpan dalam celengan. Aku pun menarik kursi meja belajar, duduk di depan kerangkeng Susanti yang tergeletak di atas meja. Tuk tuk! Aku mengetuk. “Susanti?” Panggilku.

“Halo, Ehsan…”

Suara Susanti terngiang begitu saja dalam kepalaku. Panik, aku buru-buru berlari keluar kamar. Ini sungguh menakutkan.

Sebelum kakiku genap menjejak anak tangga, langkahku berhenti. Kenapa juga aku harus takut? Susanti ada di dalam celengan yang tergembok, bahkan kuncinya tergantung di leherku sekarang. Sekalipun kalau benar Susanti adalah jenglot, tidak ada alasan untuk takut pada makhluk yang besarnya hanya seisapan jempol. Aku pun  tekad, kembali ke kamar dan sekali lagi duduk berhadapan dengan makhluk dalam celengan itu.

“Apa kamu adalah iblis?” tanyaku.

“Kenapa kamu berpikir begitu?” Suara Susanti kembali terngiang.

“Di buku yang pernah kubaca, si tokoh utama kedatangan tamu aneh di hari Senin, sama sepertimu tapi dalam wujud manusia. Dan ternyata, tamu itu adalah Iblis.” Ujarku.

“Buku yang menarik. Apa yang terjadi selanjutnya?”

“Si Iblis mau memperpanjang hidup si tokoh utama yang sedang sekarat. Dengan syarat untuk satu hari, tokoh utama itu harus menghilangkan satu hal dari dunia ini.” Tanpa sadar aku mulai bercerita, “Cerita itu dibawakan sang penulis dengan penyampaian yang sederhana menggunakan sudut pandang orang pertama. Namun tiap lembarnya benar-benar mengusik pikirianku. Tidak seperti judulnya, buku itu tidak mentah-mentah membahas tentang kiamat kucing yang kita tahu. Tema yang diangkat adalah tentang pemahaman hal-hal penting dalam hidup. Ketika menghadapi kematian, alih-alih meratap tokoh utama cerita itu justru memikirkan lagi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya.”

Mataku berkaca-kaca, rupanya tubuh ini mengingat sensasi sedih dan haru yang membuncah saat aku membaca cerita itu. “Pengarangnya orang Jepang, namanya Genki Kawamura. Jika Kucing Lenyap dari Dunia adalah buku pertamanya, dan ia berhasil membuatku tidak bisa tidur semalaman. Orang itu adalah penulis favoritku sepanjang masa.”

“Berarti kedatangan Sang Iblis pada akhirnya membuat cerita yang bagus untuk si Lelaki Sekarat itu, kan, Ehsan?”  Susanti bertanya.

“Tapi ia Iblis. Sekali Iblis tetaplah Iblis, Susanti.” Aku menyanggah. Sejenak, aku membayangkan bagaimana kalau Susanti benar-benar Iblis. Apa yang akan terjadi pada hidupku?

Kalau dipikir-pikir, aku terlalu santai menyikapi penemuan smurf mirip jenglot dari tub pasta gigiku. Salahkan Ibu untuk kepribadianku yang seperti ini. Sejak membaca sebuah buku non fiksi berjudul Strawberry Generation, Ibu selalu mendorongku untuk berani keluar dari zona nyaman dan menerima tantangan-tantangan baru. Tadinya itu hal yang baik, aku bisa bebas bereksperimen dan mempelajari banyak hal. Namun entah karena terbiasa atau bagaimana, kini sifatku justru melenceng jadi kelewat tenang dalam menghadapi suatu masalah.

“Aku bukan makhluk jahat, Ehsan. Justru aku datang untuk memberi pertolongan.” Tepat di ujung kalimat Susanti, pintu kamarku berderit terbuka.

Lumina berdiri di sana, menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Kak…” Sekujur tubuhnya gemetar hebat.

***

              Serangan rudal diluncurkan di Negara A, dua diantaranya mendarat di kota tempat Papa bekerja. Selain itu terjadi peperangan antar tentara ditayangkan di TV membawa senjata berbahaya, salah satunya terlihat pria yang berdasarkan perawakannya berumur sekisar 30 tahun membawa pistol, dan dari sana terlihat sebuah pistol besar, yang dari perawakannya membuat Ehsan bisa mengira-ngira. Pistol tersebut akan memiliki kecepatan awal 40 m / s dan sudut elevasi 60o, dengan gravitasi sesuai dengan gravitasi bumi yaitu 10 m / s2. Ehsan menggigit bibirnya keras, pistol itu jika ditembakkan bisa mencapai ketinggian maksimum yang sangat tinggi, dimana berdasarkan rumus yang diajarkan gurunya yaitu vo²sin²α/2g, dan memasukan setiap variabel yang diketahui olehnya. Ehsan menghirup napas keras jika dihitung itu akan mencapai 60 meter, sungguh pistol yang sangat hebat, sayang digunakan untuk perang, dan membunuh orangarena perang tersebut. Tak ada yang menyangka bahwa dua negeri yang lama berseteru itu akan benar-benar saling menyerang. Ibu mengunci diri di kamar, meminta kami tetap tenang dan berdoa.

              Namun bagaimana bisa tenang? Tiga jam berlalu dan tak sekalipun Papa menjawab pesan maupun telepon kami. Aku mengambilkan selimut untuk Lumina yang tertidur di sofa. Kasihan adikku itu, menangis sampai kelelahan. Hujan turun mengguyur kota, menyamarkan rasa gelisah dan ketakutan kami.

Aku kembali ke kamar, berhadapan lagi dengan Susanti dalam celengan. “Aku datang untuk menolong, Ehsan.” Katanya, kembali terngiang dalam benakku.

“Kalau begitu tunjukan,” Aku menantang, “Bagaimana jamur kecil sepertimu akan menolongku?”

“Aku bukan jamur, Ehsan. Aku protista mirip jamur.”

“Protista? Apa itu?” Tanya Ehsan penasaran

“Ya Tuhan Ehsan kamu di sekolah belajar apa? Protista itu termasuk salah satu kingdom yang terdiri dari satu sel atau banyak sel dan memiliki membrane inti (organisme eukariot) serta bersel tunggal. Protista dapat di kelompokkan menjadi tiga bagian yaitu menyerupai hewan (protozoa), menyerupai tumbuhan (Ganggang) dan menyerupai jamur. Sebagian besar Protista hidup di air, karena tidak memiliki pelindung untuk menjaga tubuhnya dari hawa kering. Kingdom Protista adalah kingdom yang sederhana karena hanya tersusun atas satu sel sehingga dapat di kelompokan dalam kingdom sendiri. Tetapi ada juga yang multiseluler akan tetapi masih sangat sederhana dibandingkan dengan organisme lainnya.” Jelas Susanti, setengah mengkritik.

“Yah, terserah. Intinya, wahai makhluk ajaib, tolong selamatkan Papaku.” Aku berujar, penuh harap.

Susanti terdiam sejenak sebelum berkata, “Baik, kalau begitu mari kutunjukkan, Ehsan.”

Dalam sekejap pandanganku hilang. Tubuhku seperti tersedot ke belakang. Derasnya hujan di luar menjadi senyap. Segalanya hening dan kosong sampai rasanya seperti hidupku adalah kebohongan. Tidak, bukan begitu. Siapa aku ini? “Ehsan?”

“Ehsan!” Aku kembali menarik napas. Udara terasa kering. Terik matahari begitu panas menyengat kulit. Kepalaku berdenyut nyeri. Pandanganku yang buram membutuhkan beberapa waktu sampai fokusnya kembali.

“Kamu sedang apa di sini, Nak?” Wajah ayahku yang penuh terkejut adalah hal yang kulihat pertama kali. Aku mematung.

“Ehsan, bagaimana kamu ke sini? Apa Ibumu juga datang?”  Papa mengusap kepalaku, gelisah mengamati sekeliling.

“Papa,” bibirku gemetar memanggilnya. Padahal baru beberapa hari, namun rasanya seperti sudah lama sekali. Lihatlah matanya yang kuyu, garis wajahnya yang lelah, Papa terlihat jauh lebih tua dari pada sososknya di ingatanku.

“Kita tidak bisa lama-lama berada di sini, Nak. Ayo, kemari.” Ia menarik tanganku menjauh dari tempat itu. Aku segera mengusap air mata, lantas cepat membawa celengan Susanti ikut serta bersama kami.

“Kita mau ke mana?” Tanyaku, kewalahan mengikuti langkahnya.

“Mencari tumpangan, Ehsan. Kota ini akan segera menerima serangan, kita harus segera pergi.” Kami turun menuju lorong bawah tanah. Terlihat alas tidur kosong dan kardus bekas berserakan di tiap tepi jalan, ditinggalkan pemiliknya. Namun dilihat sekilas saja, terhitung masih banyak pengungsi yang memilih tinggal di sana.

Berjalan lebih dalam lagi, kami menemui rel- rel kereta api. Aku cukup terkejut bahwa kendaraan umum semacam ini masih bisa beroperasi. “Kupikir akses semacam ini sudah mati total,” ujarku kepada Papa.

Pria paruh baya itu pun menatapku heran, “Tentu saja, akses sudah dikembalikan tiga bulan sejak serangan pertama.”

Aku terpaku sejenak, merasa ada sesuatu yang janggal pada kalimatnya. “Sejak serangan pertama?”

Papa mengangguk, mempercepat langkahnya menuju salah satu gerbong kereta. “Aku masih tidak mengerti bagaimana kau menemukanku, Ehsan. Sudah tiga tahun sejak rudal pertama itu, dan tak satupun suratku mendapat balasan dari Ibumu.”

Ini benar-benar kacau. Kami sudah duduk di gerbong sejak lima belas menit lalu. Cukup bagiku untuk mengerti bahwa Susanti si jamur panu membawaku melintasi waktu ke masa depan. Menurut cerita Papa, invasi oleh negeri Alibaba tiga tahun silam merantak menjadi perpecahan bangsa-bangsa. Perang besar terjadi di tahun pertama, yang sampai hari ini pun belum terlihat titik akhirnya.

Aku meremas celengan Susanti, apa yang sebenarnya makhluk ini rencanakan?

“Bagaimana kamu tidak mengetahui itu semua, Ehsan?” Papa terkekeh kecil menatapku, “Ah, tapi hal itu masih masuk akal. Negara kita sangat berbeda dengan negara-negara yang terlibat peperangan.” Ujarnya.

“Negara kita yang bersifat netral pada akhirnya mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhannya sendiri, dan melepas ketergantungan dari negara-negara yang sedang berperang, bukan? Ekonomi tumbuh dengan cepat. Aku yakin usaha sosis Mamamu juga berkembang pesat, orang-orang cenderung membeli makanan yang awet agar dapat dijadikan persediaan jika sewaktu-waktu dampak buruk perang juga mempengaruhi mereka.” Papa terus berbicara.

“Jadi, Ehsan, apa kamu senang ayahmu masih hidup?” Suara Susanti yang tiba-tiba terngiang membuatku terbelalak. Aku buru-buru pamit menuju toilet yang ada di ujung gerbong.

“Susanti!” Aku meneriaki celengan itu, “Apa maksudnya ini?”

“Aku menolongmu, Ehsan. Lihat, bukankah Papamu baik-baik saja? Ibumu juga sukses mengembangkan bisnisnya di sana.” Jamur itu begitu tenang berbicara.

“Tapi ada sesuatu yang harus kamu ketahui, Ehsan.” Ia melanjutkan, “Tiga tahun lalu, ketika kamu pergi meninggalkan rumah, Ibumu yang panik mencari tahu tentang ayahmu lupa mematikan kompor dan membuat rumah kalian hangus terbakar. Tidak ada yang terluka pada kejadian itu, namun wanita itu dan adikmu berpikir kalau kamu sudah meninggal.” Jantungku seperti berhenti berdetak ketika mendengarnya.

 Suara Susanti makin meninggi, makin menakutkan, “Karena rasa bersalah dan sakit hati yang tak terbendung ketika mengingatmu, Ibumu memutuskan untuk pindah. Mereka pergi ke Ibukota, mencari tempat tinggal baru. Di sanalah Ibumu kembali merintis bisnisnya, yang lain dengan kota kecil kalian, di Ibu Kota makanan awetan buatan Ibumu justru sangat diminati. Terlebih setelah perang meledak. Bahkan Ibumu bisa membuka pabrik sendiri.”

“Mereka juga berpikir bahwa ayahmu sudah mati, Ehsan. Ayahmu bukan orang Indonesia, sejatinya ia lahir di tempat ini. Sejak akses keluar masuk ditutup, ayahmu tidak dapat meninggalkan tempat ini. Ibu dan adikmu tak menyangka kalau setiap beberapa bulan ayahmu mencoba mengirimkan surat ke alamat lama mereka. Namun karena itulah, sampai sekarang pun ayahmu masih berusaha bertahan hidup, demi menunggu balasan atas suratnya.”

Aku terbengong mendengar rentetan ucapannya itu. Tanpa menyadari, bahwa celengan Susanti di atas wc mulai bergerak-gerak. Perlahan logamnya yang berkarat itu mulai keropos, mengeluarkan sosok Susanti yang menyeringai dengan gigi-giginya yang tajam.

“Semuanya baik-baik saja, Ehsan.” Ujarnya, “Aku sudah menolongmu.”

Aku mengambil langkah mundur, berusaha membuka pintu yang anehnya tak bisa digerakkan.

“Ingat cerita Iblis dan si Pria sekarat yang kau ceritakan padaku, Ehsan? Untuk mendapatkan sesuatu, kau harus kehilangan sesuatu. Untuk kehidupan tiga orang keluargamu, aku mengambil tiga tahun hidupmu.” Makhluk mengerikan itu melebur, lantas tumbuh menjulang berkali-kali lipat lebih besar.

Aku menelan ludah, “Apa lagi yang harus kubayar?” Tanyaku, gemetar.

Susanti tersenyum semakin lebar. Alih-alih bersuara lewat pikiranku, kini ia memutuskan untuk berbicara menggunakan mulutnya, “Kamu mau kereta ini selamat sampai tujuan?”

Lengan-lengan Susanti menjalar melingkari leherku. Kereta melaju kencang, dari lubang udara di sampingku, dapat kurasakan udara yang berhembus segar. Ah… betapa sialnya. Sudah kukatakan di awal, bukan? Susanti adalah Iblis yang muncul di hari Senin.

Selesai

Komentar

Postingan Populer