Proyek BBL E-Cerpen Tema 3 : Anak-Anak Waktu
Tema: Dinamika Kehidupan Manusia
Mariza X MIPA 1/21 dan Vannya X MIPA 1/29
_______________________________________________
Anak-Anak Waktu
Pengakuan ini belum pernah
kuceritakan padamu sebelumnya, Romo.
Atau mungkin lebih baik kalau kali
ini jangan dengarkan aku sebagai seorang Romo. Dengarkan rekaman ini sebagai sahabatku.
Seperti dulu.
Berapa jauh masa itu dari ingatan
kita?
Hari itu sekitar 60 tahun yang
lalu.
Aku masih ingat jelas, di perpustakaan
SMA kita. Kau datang tergesa-gesa. Banjir keringat, kacamata melorot, dan salah
seragam. Tubuhmu yang kurus memanggul sebuah tas besar seperti hendak berkemah.
Setibanya di ruangan, semua orang menyambutmu dengan gembira.
“Zo, kita kedatangan anggota klub
baru!” Salah seorang teman kita memperkenalkan aku kepadamu.
“Selamat datang,” katamu, terengah.
Kita berjabat tangan. Kau letakkan tas seberat karung beras itu di meja, dan aku
terbelalak ketika anak-anak lain mengeluarkan isinya. Buku-buku sejarah yang pada
masa itu tak ternilai harganya bagi kami di sekolah terpencil itu.
Kita semua duduk melingkar menunggu
datangnya guru pembina. Lima menit bercakap-cakap, seorang wanita bertubuh tinggi
semampai mengetuk pintu perpustakaan. Ia adalah sang pemimpin klub Sejarah
Indonesia.
Kita semua berbincang sampai sore
sekali. Cerita perlawanan bangsa kita dibawakan sang guru dengan amat
menyenangkan. Aku takzim mendengarkan, dan kau siap mencatat belasan
pertanyaan. Dasar anak pintar. Jujur saja, aku masih bertanya-tanya mengapa
dirimu banting setir ke Biara, kawan. Kupikir kau bisa jadi guru atau bahkan
ilmuan yang hebat.
“Beliau adalah tokoh yang hebat.”
Ujar guru kita di jeda ceritanya.
“Tapi terlalu ambisius.” Aku
bergumam pelan. Kau mendengarnya waktu itu, mengangguk setuju.
“Benar, meskipun Sultan Agung
terdengar keren dengan latar belakang perlawanan yang menentang keras monopoli
VOC, bukankah Si Sultan Agung ini cukup serakah karena dasarnya ia berniat
menguasai seluruh perdagangan di Jawa?” Kau mengutarakan pendapatmu itu dengan
lantang, merebut perhatian semua orang.
“Apa yang salah dengan itu?” Guru
kita tersenyum menantang, “Ambisi besar tidak selalu memiliki konotasi yang buruk,
bukan? Misalnya seperti teman-teman kalian yang mencalonkan diri menjadi ketua
OSIS. Mereka tidak semata-mata hanya ingin jabatan saja, tapi juga punya tujuan
untuk memajukan sekolah, membuat program yang bermanfaat bagi kita semua.”
“Tapi aku tetap bersyukur kita
tidak lahir di masa itu.” Salah seorang teman kita menceletuk. “Meskipun
pemimpin pasti punya rencana terbaik untuk membangun negerinya, rakyat tidak
punya kuasa untuk ikut campur dalam mengambil keputusan pemerintahan. Berbeda
dengan era demokrasi Pancasila sekarang ini. Lebih enak, kita juga berhak menentukan
bagaimana nasib negeri yang kita tinggali ini kedepannya. Kita bisa ikut
pemilu, bebas mengutarakan pendapat, bebas mengakses informasi, selama sesuai
dengan nilai Pancasila.” Jelasnya.
Kita
semua mengangguk setuju, lantas meminta sang guru melanjutkan ceritanya.
Sultan
Agung melancarkan serangannya sebanyak dua kali kepada VOC yang waktu itu ada
dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen. Kedua serangan itu sayangnya sama-sama
tidak berhasil mencapai kemenangan. Serangan pertama dilancarkan pada 1628,
dengan pimpinan Tumenggung Baureksa di Batavia, gagal karena pasukan Mataram
kalah dalam persenjataan. Serangan kedua pada 1629, Sang Sultan mempersiapkan
lumbung-lumbung makanan. Namun terjadi kebocoran informasi dan segala persiapan
mereka berhasil dihancurkan tentara VOC.
“Ini
sisi paling keren dari cerita,” Ujar Sang Guru, “Perlawanan pasukan Sultan
Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Namun, semangat dan cita-cita
untuk melawan dominasi asing terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para
pengikutnya.”
Kau banjir keringat hanya dengan
mendengar guru itu bercerita.
Katamu, “Wah, mempelajari sejarah
rasanya seperti berjalan melawan arus di sungai yang mengalir deras.”
Ucapanmu itu membuatku merinding.
Detik itu juga aku tahu bahwa kau anak yang istimewa, dan aku mulai mengikutimu
sejak hari itu.
Kau memandang segala hal dalam
kehidupan dengan penuh makna. Kau ubah semua yang kau pandang, dengar, dan
rasakan menjadi rangkaian puisi. Hal itu indah sekali, Zo. Saat aku mulai
beradaptasi dengan cara hidupmu, segalanya terasa ringan dan menyenangkan.
Kau pasti bertanya-tanya, mengapa
tiba-tiba aku mengajakmu bernostalgia seperti ini, bukan?
Zo, dalam malam-malam terakhir
sebelum video ini kubuat, aku terus membayangkan bagaimana kalau waktu itu aku
tidak berhenti mengikutimu.
***
Kelas 3 SMA. Penghabisan masa muda
kita.
Kau mengejutkan kelas dengan
niatmu masuk biara. Aku tahu kau anaknya bijaksana, tapi keputusan yang kau
buat itu rasanya terlalu ekstrim dan tidak terduga. Bagaimana dengan cewek kelas
sebelah yang kau suka? Bagaimana dengan mimpi-mimpimu untuk melihat dunia?
Bagaimana dengan keluarga yang selalu kau cinta?
Aku benar-benar tidak habis
pikir.
Juga, bagaimana denganku?
“Jangan lebay, aku ini masuk
biara, bukan menghilang selamanya.” Ujarmu, setengah bercanda.
“Aku
memang bermimpi melihat dunia.” Ujarmu. “Pernah dengar lagu Gereja Bagai
Bahtera?” Tanyamu, lantas mulai bersenandung pelan.
“Gereja
bagai bahtera
Di
laut yang seram.
Mengarahkan
haluannya, ke pantai seberang…”
Sungguh,
aku geli setengah mati mendengarnya.
Kau berdeham
malu, “Gereja itu umat Allah, Alby. Mereka yang percaya pada Allah dan
memberikan diri untuk dibabtis adalah bagian dari Gereja.” Ujarmu.
“Sudah
selayaknya semua anggota Gereja terlibat dalam hidup menggereja. Nah, untukku,
jalan yang kupilih adalah menjadi seorang Imam.” Kau menejelaskan.
“Lalu..
apa hubungan hal itu dengan mimpimu melihat dunia?” Aku bertanya.
Kau menaikkan
alis, memasang wajah terkejut yang dramatis. “Eh? Kupikir kau akan mengejek. You
have been nice to me lately.” Ujarmu, tersenyum lebar. Aku mendengus pelan.
“Gereja
bagaikan bahtera di laut yang seram, kawan. Aku ingin membawa bahtera itu ke
pantai seberang. Dengan demikian, para penumpang bahtera Gereja kita bisa menepi
dengan selamat dan melihat daratan yang indah.” Matamu menatap jauh,
menerawang. “Daratan yang indah itu adalah dunia yang ingin kulihat.”
“Astaga,
filosofis sekali hidupmu.” Aku berdecak meledek. “Kalau begitu, boleh kau bantu
aku menumpang bahtera itu? Aku bukan anggota gerejamu.”
Candaan
itu kau tanggapi dengan serius, “Tentu saja! Maksud ucapanku tadi bukan berarti
di luar gereja tidak ada keselamatan. Gereja adalah suatu komunitas yang mampu
merangkul orang-orang dengan penuh cinta kasih dan juga mampu beradaptasi
dengan dunia luar karena gereja adalah gambaran dan rupa Allah di muka bumi
ini.”
Pada akhirnya kau benar-benar melakukannya.
Kau berhasil menjalani hidupmu, Zo. Kau melihat dunia dalam pengharapan
orang-orang kecil. Dalam pengampunan-pengampunan yang dimohon para pengaku dosa.
Kau menembus segala sekat yang bisa dilihat oleh mata, mencapai dunia yang
lebih tinggi dari orang-orang biasa. Dunia spiritual yang amat istimewa.
Berbanding terbalik denganku.
Aku hidup dengan sangat biasa.
Aku bekerja keras untuk menjemput sesuatu yang fana. Kukumpulkan uang
sebanyak-banyaknya. Anak perusahanku lahir dimana-mana. Aku menikah dan
berketurunan. Aku tertawa dan marah, kesal dan sedih. Kulalui hidup yang berharga
ini dengan rasa jemu yang makin tinggi seiring berjalannya waktu.
Kau memang pernah bilang, bahwa
tidak ada cara yang salah untuk menjalani hidup. Namun jalan kehidupan yang
kuambil ini sungguh rapuh, Zo. Segala kekayaan itu bagaikan pisau bermata dua. Dengan
setitik kesalahan dan anak-anakku yang serakah, pondasi milyaran dollar itu
ambruk ke tanah.
Karena masalah sengketa lahan
dari cabang baru yang dibangun putraku, saham perusahaan induk kami jatuh.
Sengketa itu timbul karena adanya
konflik kepentingan atas tanah. Tanah yang putraku beli untuk dibangun
perusahaan diakui oleh orang lain. Ternyata perusahaan kami membeli dari orang
yang salah. Modus sengketa ini adalah mal-administrasi.
Butuh proses hukum yang cukup
lama hingga Kementerian ATR/BPN selesai memeriksa kelengkapan dokumen tanah
yang semula dimiliki oleh penuntut tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan, pada
sertifikat hak guna bangunan yang dimiliki sang penuntut tidak ditemukan
hal-hal yang membuat tim pemeriksa yakin bahwa proses penerbitan sertifikat yang
dimiliki penuntut tersebut sesuai dengan prosedur.
Akibatnya, rencana pembangunan
pun harus ditunda, dan perusahaan kami harus membatalkan sekian proyek kerjasama
dengan produk-produk besar.
Aku benar-benar kalut waktu itu,
Zo. Aku jatuh sakit. Beruntung kedua putraku sigap mengambil alih kemudi. Semua
masalah itu mereka selesaikan dengan baik.
Perusahaan baru itu menaungi
bisnis restoran Mie Aceh yang masih terkenal hingga saat ini.
Mereka mengatur penjualan dengan
baik menggunakan perhitungan BEP.
Total biaya tetap usaha kami waktu
itu mencapai Rp 90.000.000, dan variabel costnya mencapai 2.725 rupiah per
unit. Sebanyak 50.000 Mie Aceh yang dihasilkan tiap bulan itu kami jual seharga
Rp 8.000 per porsinya, yang mana untuk mencapai titik impas, kami harus menjual
17.062 unit dari semua cabang tiap bulannya.
Sungguh angka yang besar dan
beresiko. Namun anak-anakku berhasil mencapai targetnya. Kami mendapat laba
sebesar Rp 173.750.000 di bulan pertama.
Hari itu, aku bangga sebagai ayah
yang membesarkan pebisnis hebat seperti mereka, Zo. Namun beberapa tahun
setelahnya, aku menyesal telah membiarkan mereka mencicipi kekuasaan yang
mentah itu. Anak-anakku gelap mata. Mereka ingin mengeser posisi ayahnya.
Para dewan dan eksekutif sepakat
melakukan pengkhianatan. Aku pun dipensiunkan.
Biarpun begitu, bagi mereka aku
tetap ayahnya, Zo. Aku tidak semerta-merta didepak ke jalanan. Mereka anak yang
baik dan berbakti. Mereka hanya ingin memegang kendali penuh atas perusahaan.
Mungkin aku memang terlalu kuno dalam membuat keputusan. Akulah yang mungkin sudah
tidak secakap dulu. Mungkin sudah waktunya mereka yang muda menjadi nahkoda
perusahaan.
Aku menghabiskan malam dengan
menghibur diriku seperti itu, Zo. Kuyakinkan diriku bahwa kecewa yang kupendam
itu sepadan dengan senyum ceria anak-anakku sepulang kerja.
Kepalaku penuh, seperti mau
meledak. Aku sesak dan kelelahan bahkan ketika tidak melakukan apa-apa, Zo.
Hingga di suatu sore yang tak
tertahankan, aku ingat, aku datang mengunjungimu.
Kita duduk di kursi taman
belakang gereja.
Kuceritakan semua masalahku
kepadamu. Kukatakan, “Andai bisa mengulang waktu, lebih baik aku ikut denganmu
saja. Melayani gereja.”
Menanggapi ratapan itu, kau
justru tertawa. “Sejak awal memang tidak ada pilihan tanpa penyesalan, Alby.” Kau
menepuk pundakku. “Siapa yang menjamin kita bisa duduk santai di kursi taman
seperti ini jika kau ikut aku melayani Gereja?”
Kau menyemangatiku. Kau buat aku
yakin bahwa hidup yang kulalui selama ini tidaklah layak untuk disesali. Seburuk
apapun yang kurasakan saat ini.
Bicara dengamu
memang selalu yang terbaik, Zo. Andai aku bisa menemuimu sekali lagi.
Namun sayangnya sore itu adalah hari
terakhir kita bertemu, bukan? Kau dipindah tugaskan.
“I will have sent a letter to
you by the time I serve the new church.” Janjimu waktu itu.
Kali itu kau dikirim ke India.
Tak lama setelahnya suratmu datang lagi dengan perangko Afrika. Bertahun-tahun
berlalu dan kini entah kau ada di mana.
Sekarang aku sudah tua, Zo. Aku ingin
mencarimu, tapi aku tak lagi mampu melakukan apa-apa. Umur yang panjang adalah
pisau bermata dua. Di satu sisi, aku tidak lekas mati. Aku bisa merasakan hidup
lebih lama, mendapat kesempatan-kesempatan yang diinginkan oleh orang-orang mati.
Namun di sisi lain, aku ditinggalkan oleh semakin banyak orang.
Satu demi satu. Kuantar teman-teman
kita ke kuburan. Mereka yang biasa tertawa bersama, yang kita temui setiap hari
semasa sekolah, akhirnya berdiam selamanya.
Stress yang tinggi mendongkrak
kinerja kelenjar adrenalku, mempengaruhi sel saraf, dan membuat malam-malamku
berlalu tanpa tidur yang nyenyak. Aku mulai sakit-sakitan.
Bicara soal sel, aku jadi ingat
suatu kejadian di kelas biologi, Zo.
Di suatu pagi yang berisik. Di
sebuah ruangan yang penuh siswa.
“Itu sel hewan, kan?” Aku kukuh
memastikan pengamatanku. Kita satu kelompok, hanya berdua. Tiga teman lainnya tidak
masuk sekolah. Suasana hatiku keruh karena tahu bahwa tiga pembolos itu sengaja
menghindari pekerjaan mereka, dan aku terjebak denganmu untuk menyelesaikan
tugas super sulit itu.
Kita duduk di meja besar dengan dua
lembar kerja.
“Benar, itu gambar sel hewan. Tidak
ada dinding sel dan plastisida.” Kau mulai menulis.
Aku merengut kesal karena kau
tampak begitu mudah memahami gambar tak jelas itu. Aku bolak-balik melihat
gambar di buku catatanku untuk memastikan nama bagian-bagian sel itu. Sedangkan
kau lancar menyebutkannya hanya dengan sekilas pandang.
“Jujur deh, catatan dari Bu
Paulina kemarin kau bikin jus lalu diminum, ya?” Sinisku. Kau tertawa.
“Sel hewan tidak punya dinding
sel dan plastisida, vakuolanya sedikit dan kecil, memiliki sentriol. Sel
tumbuhan tinggal kebalikannya, punya dinding sel dan plastisida, banyak vakuola
berukuran besar, dan tidak punya sentriol.” Pamermu sembari mengendikkan bahu,
bercanda.
Setelahnya, alih-alih melanjutkan
tugas yang diberikan, kita justru saling melempar candaan. Membanggakan pengetahuan
masing-masing, yang lantas diikuti oleh teman-teman lainnya. Sahut-menyahut, ribut,
tertawa.
Jam
pelajaran itu berakhir dengan teguran guru penjaga.
Sungguh,
betapa indahnya masa-masa itu.
***
Zo, maksudku, Romo, sekarang aku 77.
Aku tak bisa mengembangkan paru-paruku
sendiri. Aku kaya raya, tapi kini tak ada gunanya. Betapa melelahkan menjadi
tua tetapi sendirian.
Namun seperti katamu, Romo
Marizo, sejak awal tidak ada pilihan tanpa penyesalan.
Kalau rekaman ini sampai
ditanganmu berarti waktuku telah tiba. Banyak pilihan yang layak untuk kusesali.
Namun bagaimana semuanya terajut sempurna menjadi kisah indah seperti yang kukenang
ini. Maka, aku mau kau tahu, Zo, di ujung hari ini, aku memilih untuk tidak
menyesali apa-apa.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar