BBL E-Cerpen Tema 4-5 - The Oldest Dream

 BBL E Cerpen Tema 4-5 -- Semester 3

Mariza XI MIPA 1/21 & Vannya XI MIPA 1/29

 

The Oldest Dream



 

Aku akan mulai cerita ini dengan kata “aku” karena aku adalah orang yang egois, songong, dan sangat mengagungkan diriku sendiri. Semua orang yang mengenalku tahu akan hal ini, karena itu mereka memanggilku seperti ini:

“Gu Yang Agung, kamu disuruh mama antar pesanan, tuh!” Teriak Guvina dari bawah tangga.

“Nggak mau!” Jeritku.

Abaikan kata-kata di belakang Gu Yang Agung, karena aku hanya ingin kalian memperhatikan julukanku itu. Namaku Guifi, biasa dipanggil Gu. Namun karena tingkahku di rumah ini bagaikan seorang maharaja, adik dan mama memakai “Gu Yang Agung” untuk menyidirku.

“Gu, sumpah, mama lagi sakit!” Bocah SMP itu berteriak lagi.

“Sudah-sudah, jangan bertengkar.” Mama berjalan terbungkuk-bungkuk dari kamarnya. Wajah perempuan itu sepucat kertas, bibinya kering mengelupas. Tiap kali terbatuk badannya akan bergoyang hebat seperti hendak terjerembab.

Sebetulnya aku sedikit kasihan melihatnya. Namun aku benar-benar lelah dan tidak sanggup berjalan mengantar rantangan-rantangan itu.

Mama adalah seorang pengusaha catering rumahan. Kami tinggal di Situbondo, di salah satu daerah tambak udang terbesar di Jawa Timur. Karena itu menu andalan mama adalah makanan olahan udang. Hal ini cukup menyebalkan karena aku alergi udang, jadi aku jarang bisa mencicipi makanan-makanan buatannya itu.  

“Kakak yang salah, Ma!” Guvina berteriak frustasi.

“Aku tidak melakukan apa-apa, kok!” Seruku, membela diri.

“Itu masalahnya! Kau tidak melakukan apa-apa, pemalas. Tidak mau susah, dan mau enaknya saja!” Balasnya.

“Tentu saja, mana ada orang mau bersusah-susah.” Aku mengendikkan bahu.

“Nggak ada orang yang mau susah, tapi banyak orang yang mau hidup enak. Kamu termasuk golongan orang yang nggak mau susah tapi minta hidup enak dengan menyusahkan orang lain.” Cercanya, kasar. “Baca biografi orang-orang sukses, Gu. Mimpi Sejuta Dollar, Merry Riana harus bekerja keras menyebar brosur, menjaga kios, bahkan menjadi pelayan hotel sebelum akhirnya menjadi kaya raya.”

 Aku mendengus malas. “Ya, kau saja yang jadi seperti itu.”

Sebelum Guvina melempariku dengan keranjang catering, aku segera meloloskan diri ke dapur. Aroma yang menguar dari tumpukan snack box itu sungguh menggugah selera. Saat kuintip, rupanya kotak-kotak itu berisi mian bao xia—roti udang khas dari China. Lalu entah bagaimana ceritanya, aku sudah mencomot dan memasukkan bantalan panas yang terasa gurih itu secara membabi buta ke dalam mulutku.

Aku lupa, aku alergi udang.

***

Pernah dengar kalau orang-orang yang koma jiwanya bisa berkelana? Sepertinya aku sedang mengalami hal itu. Yah, paling tidak aku yakin kalau tempat ini bukan surga. Jadi kusimpulkan kalau aku belum mati, dan sepertinya sedang pingsan, koma, atau tidak sadarkan diri saja.

Bukan tanpa alasan aku berpikir begitu. Tempat ini terlalu aneh untuk ukuran surga. Seperti mimpi yang hinggap dalam tidurmu saat sedang demam. Langit dan awan-awan bergerak dengan aneh, seperti creamer yang dituangkan barista saat membuat coffee latte. Rumput di kakiku berwarna hijau dengan aneh. Tanah memerah dengan aneh. Tebing-tebing tampak seperti potongan film kartun—sangat aneh. Bahkan udara yang kuhirup, rasanya seperti tidak ada rasanya dan aneh.

“Wuidih, rupanya kau sudah sadar kalau jiwamu ada di ruang yang ganjil.” Sebuah suara bergaung dari langit. Sumpah, segalanya makin membingungkan.

“Kenapa diam saja?” Suara sengau itu terdengar bergaung lagi.

                “Kau mau aku bicara apa?” Aku memberanikan diri untuk bersuara. Mataku awas menjelajah sekitar.

“Minta aku tunjukkan wujud, dong!” Aku tersaruk mundur. Suara bindeng itu terdengar dekat di telingaku.

Sedetik kemudian, pemilik suara jelek itu muncul tepat di samping wajahku. Pria setinggi kurcaci itu tertawa terbahak-bahak di atas kursi yang entah dari mana munculnya. Kepalanya bulat kecil seperti semangka, dan matanya selebar bola ping-pong. Rambut jabrik dan bibirnya berwarna oranye, gigi taringnya tanggal, dan mulutnya bau seperti muntahan harimau.

Orang ini menyeramkan.

Setelah tawanya reda, kurcaci jadi-jadian itu melompat turun dari kursinya. Tingginya hanya sepinggangku, namun keras suaranya melebihi bunyi lonceng gereja.

“Ayo, ayo, ayo! Sudah jam kerja.” Suara sengau itu turun seoktaf, raut wajahnya mendadak berubah ketus. “Jangan malas, anak nggak berguna!” Ia menggerutu sembari menarik tanganku.

Kami melewati tebing, menuju sebuah pasar yang berisik. Namun tempat ini tak kalah aneh dari tempat sebelumnya. Kios-kios beratap seng berjejer rapi layaknya pasar tradisional. Pijakan kami berupa aspal berlubang yang becek di beberapa tempat. Tapi tak ada orang.

Sayur mayur, ikan, dan daging tertata di masing-masing lapak seperti biasa. Beberapa kios menjual rentengan ciki, deterjen, dan kopi sachetan. Berjalan lebih dalam, gorengan-gorengan panas dipajang di etalase. Suara orang menawar, daging yang dipotong, mesin serut kelapa. Bau amis, dan busuk. Kecipak air kubangan, motor yang melintas, peluit tukang parkir. Minyak panas, ketel air mendidih. Si kurcaci masih menggerutu. Aku terus diseret maju. Penuh. Sesak. Kepalaku berputar-putar.

“Hei!” Teriak seseorang. Si Kurcaci melepaskan tanganku dan berbalik badan. Dahinya merengut tak senang.

“Raja sudah datang!” Terdengar seruan lainnya.

“Rajaaa!” Seisi pasar terdengar menyorakkan penghormatan. Aku terus memutar badan, hingga menghadap kembali ke si Kurcaci. Mendadak ia telah mengenakan jubah dan sebuah mahkota emas. Kini wajahnya berseri-seri, tersenyum penuh kebanggaan.

Ini mengerikan. “Lihatlah, rakyatku yang pekerja keras.” Ujarnya, lantas mengalihkan pandang ke arahku. “Ayo, ayo, ayo! Sudah jam kerja. Jangan malas, anak nggak berguna!”

Ia menarik tanganku lagi, keributan pasar kembali seperti biasa lagi. Tubuhku mulai kaku ketakutan. Seperti yang sudah kukatakan, pasar ini kosong. Tak ada seorangpun manusia selain kami di tempat ini, namun suara-suara yang ramai itu terus berputar tanpa henti.

“Ibumu penjual udang yang bodoh.” Kata makhluk sialan ini. Kami berbelok masuk ke sebuah warung makan. Layaknya lapak-lapak lainnya, warung ini juga kosong.

Si Kurcaci Bermahkota Raja melepaskan cengkraman tangannya dari lenganku. Jubah kebesarannya berubah menjadi apron, dan mahkotanya menjadi topi koki. Ia menggulung lengan pakaiannya sampai siku dan mulai mendekati penggorengan.

Aku mengekorinya lebih dekat. Di atas kompor dua tungku itu terletak dua wajan besar. Uap panas mengepul dari dua kubangan minyak. Pria berambut oranye itu lantas menggoreng bahan yang ia Tarik dari kulkas.

Tunggu, aku mengenali makanan itu. “Ini mian bao xia, bukan?” Kusebut nama roti udang sial yang mencelakaiku itu dengan penuh emosi.

“Benar, makanan khas China. Ibumu harusnya tidak berjualan di kampung seperti itu. Makanan seperti ini laku kalau dijual ke kalangan atas. Sewa toko yang layak, hidangkan menjadi menu sarapan. Jadikan manu khas daerah setempat, apalagi rumahmu dekat tempat tambak udang. Kemasan snackbox sudah bagus. Atur strategi pemasaran, sebar bosur, pasang iklan.” Ia bertutur panjang lebar.

Patah-patah aku mengangguk. Kuseret kakiku mundur pelan-pelan. Semakin lama ia memuji-muji dirinya, kepala kurcaci itu melembung semakin besar. Seperti balon yang ditiup, kini kepalanya sudah sebesar bola yoga. Suaranya yang sengau semakin tak jelas, “JANGAN KELUAR!” Teriaknya, berbalik badan. Matanya yang seukuran bola ping-pong menjadi seukuran bola kasti, dan bibir oranyenya selebar bola rugby.

Aku menjerit ketakutan, kuloloskan badanku keluar lewat kolong meja. Berlari, kabur tanpa tahu arah.

***

Pasar hantu itu tertinggal jauh di belakang, dan tampaknya si Raja jadi-jadian itu tak tertarik untuk mengejarku dengan kaki pendeknya. Napasku habis, tersengal. Kakiku nyaris mati rasa. Sial sekali. Aku harus segera menemukan cara keluar dari dunia aneh ini.

Terlebih karena segala keanehan tadi sepertinya masih mengikutiku sampai kesini. Semilir angin meremangkan tengkukku. Aku berbalik badan, berhadapan dengan langit barat. Matahari menggantung rendah, langit mulai tersaput jingga. Aku mendesah berat. Lima siluet manusia berjalan tegap dibawah siraman matahari sore. Aku bisa mendengar hati kecilku menjerit, “Lari, Gu. Mereka masalah besar!”

Lima makhluk itu mulai kelihatan wujudnya. Jubah bertudung yang mereka pakai membuatku tidak bisa melihat rupa mereka dengan jelas. Namun dalam sekali lihat bentuk mereka masih bisa dikenali; dua perempuan, dua laki-laki, dan seorang anak kecil.

“Selamat datang, nak.” Si pria bertubuh besar berhenti di depanku, suaranya menggelegar penuh wibawa. Empat orang lainnya terus berjalan, mengambil posisi melingkariku. Formasi mereka terencana.

“Si Raja Palsu pasti tidak memberi penjelasan yang seharusnya kau terima.” Ujar wanita di belakangku, menginterupsi. Aku mencerna kalimat itu dengan baik, Kurcaci Pasar Hantu adalah Si Raja Palsu.

Harapanku mulai melambung tinggi. Orang-orang ini terdengar seperti malaikat penolong yang diturunkan kepadaku.

“Jangan berharap banyak, Guifi.” Kata si anak kecil yang entah bagaimana caranya sudah menebak nama dan isi pikiranku.

“Kami memang akan menunjukkan jalan keluar, nak.” Pria tambun berwibawa itu bicara lagi. “Untuk bangun dari sini, lewati 5 tebing dengan 5 penjaga. Jika kau berhasil, di ujung selatan cahaya kehidupan akan memelukmu lagi.

Tepat kalimat itu selesai diucapkan, gemerincing lonceng berdering memenuhi udara. Masing-masing makhluk bertudung itu mulai terburai. Dari ujung kaki, tubuh mereka terdistorsi seperti pasir pantai. Lebur tertiup angin.

“Tunggu dulu,-” Aku tercekat. Segalanya berlangsung cepat sekali.

Si anak kecil yang kini tinggal kepala itu merekahkan senyumnya, “Sedikir bocoran, ini tanah harapan. Yang meminta akan selalu diberi.”

Lalu mereka semua lenyap.

Air pantai di depanku mulai berkurang. Pasir di bawahku berubah menjadi tanah berbatu. Air laut yang terserap seolah melawan dan ombak-ombak tinggi datang silih berganti, bersama dengan angin topan yang membawa sisa-sisa pasir pantai, tetapi semua itu tidak ada artinya dengan peristiwa yang terekam jelas di depan mataku, matahari yang kutatap dari tadi, meledak membuatku harus menutup mata untuk menghindari sinar matahari, dengan respon perlindungan diri yang ada di tubuhku, aku berjongkok melindungi kepalaku, berharap peristiwa di depanku hanya mimpi, aku masih belum mau mati.

Lalu tiba-tiba kondisi di depanku berubah bagian pasir pantai yang sangat luas menghilang di telan kegelapan di sekelilingnya, dan membuatku hanya memiliki tempat yang sedikit untuk berdiri, dan pemandangan di depanku juga membuat mulutku terbuka lebar menganga, aku merasa seperti berada di dalam gunung merapi aktif. Lava menjalar tanpa henti di sekeliling, membuat tubuhku yang merasa kepanasan mengeluarkan keringat, selain itu kakiku juga sekarang sakit, karna batu-batu lava tersebar di sekitar tempatku berdiri, menyentuh telapak kakiku hingga membuatnya tidak bisa berjalan semauku.

Apa yang dikatakan si kecil tadi terlintas di benakku, “Ini tanah harapan. Yang meminta akan selalu diberi.”

“Aku berharap mendapat sepatu,” kuucapkan itu dengan pelan, dan sepasang sepatu muncul di kakiku, sepatu ini pasti akan menjadi awal perjalananku. Aku tertawa setelah memikirkan tentang itu, seperti cerita novel fantasi saja.

Setelah mendapatkan sepatu yang kubutuhkan aku berjalan ke arah jalan setapak yang dikelilingi oleh lava panas. Tubuhku terus mengeluarkan keringat karna panas yang terdapat pada lava melakukan radiasi. Panas tempat ini saja mungkin sudah cukup untuk mendidihkan air, yaitu 100 derajat celcius.

“Berhenti mencoba berpikir dengan otak kecilmu itu!” dengan nada kanak-kanak Philip berkata kepadaku. Aku yang sedang fokus pada panas yang ada di sekelilingku memalingkan kepala ke arahnya. “Sudah ada asap di atas kepalamu karna kau berpikir terlalu keras.” Katanya lagi.

Aku sudah paham seperti apa sifatnya, menyebalkan dan suka cari ribut.

“Lihatlah kau berkata seperti itu? Memangnya sepintar apa kau!” Mengejek seenaknya padahal dirinya saja pasti tidak sepintar itu. Tetapi dia hanya menjulurkan lidahnya mengejek. “Apa kau takut? Memang kau itu tidak sepintar itu,” kuejek balik dirinya, dasar anak kecil sombong.

“Hah? Apa maksudmu?!” Philip dengan marah menjawab perkataanku, yah bukan seperti perkataanku salah. Tetapi ekspresi wajahnya yang berubah dari tampilan menyebalkan ke sombong, membuatku merasa sedikit meragukan perkataanku, tetapi karna tak mungkin tampilan anak-anak ini menyimpan otak yang cerdas kubiarkan saja dia.

“Kita berada di wilayah lava, tepatnya didalam gunung merapi, kau merasa panas karna panas yang ada di lava berpindah dengan radiasi yang tidak perlu menggunakan medium dalam melakukannya,” Penjelasan Philip membuatku menyeringai, ternyata pengetahuannya hanya selevel itu, itu sih bukan pintar namanya. Seolah bisa membaca perkataanku Philip membuka mulutnya lagi, “Selain secara radiasi, kalor juga dapat merambat dengan media padat disebut konduksi, ataupun dengan media cair dan gas yang disebut konveksi. Kalor juga memiliki efek jika diberi kepada benda yaitu kenaikan suhu dan perubahan wujud.”

Sebelum si kecil itu melanjutkannya aku dengan cepat menghentikannya. “Kau cukup pintar untuk seorang anak kecil,” kataku memujinya, tetapi dia hanya menunjukkan wajah bahwa itu sudah jelas yang membuat amarahku naik, berani sekali si kecil ini melakukan itu kepadaku.

Setelah itu dalam sepanjang perjalanan aku dan si Philip ini menghindari setiap lava yang entah bagaimana terus meletup, dan aku juga berusaha untuk menghilangkan senyum menyebalkan itu dari wajahnya, padahal dia hanya lebih tau sedikit, bisa-bisanya berpikir dirinya lebih pintar dariku. Aku mendengar perkataannya tentang kalor, suhu, celcius, reamur, dan teman-temannya yang aku tak tahu itu apa dari mulutnya yang tak bisa berhenti bicara selama perjalanan ini.

Setelah apa yang terasa seperti selamanya tebing akhir terlihat di depan mataku, menyelamatkan telingaku dari obrolan satu arah kami. Menyadari wajah sumrigahku, Philip melihat ke arah depan juga dan memandang tebing itu juga. Sambil berdecih pelan, ia mengejekku untuk terakhir kalinya.

Aku berpisah dengan Philip Si Lentera di tebing perbatasan.

Medan permainan segera berganti lagi. Panas terik menyengat, tanah yang kupijak semakin kering. Pepohonan mulai jarang terlihat. Aku segera banjir keringat. Tepat di ujung tebing, gurun pasir menghampar di depan mata.

“Selamat datang, nak.” Ujar seseorang, aku merasa familiar dengan suara menggelegar ini.

“Oh?” Aku terhenyak, pria bertubuh besar pemilik suara penuh wibawa itu sudah berdiri di sampingku. Ia bergerak menurunkan tudung dan melepaskan jubahnya. Aku melongo, alih-laih perawakan gagah besar yang kubayangkan sebelumnya, penampakan yang kutemukan di balik tudung dan jubah itu justru berupa bapak-bapak obesitas dengan perut menggelembung.

Pria itu terkekeh, “Kau butuh ini, Gu. Matahari akan memanggang kulitmu di tempat ini.” Ujarnya, menyerahkan jubah. Lelaki yang kini dibalut pakaian bergaya Yunani Kuno itu berjalan mendahuluiku.

“Kau siapa?” Tanyaku, tak betah berdiam diri. Aku mengekorinya.

Makhluk berhidung bengkok dengan kulit seputih susu itu tersenyum, lantas berhenti dipuncak jalan batu setapak yang tengah kami lewati. “Aku hanya manusia biasa,” katanya, “Tapi mereka biasa memanggilku Raja.”

Sekujur tubuhku merinding. Dari sini aku bisa melihat keseluruhan kota di gurun ini. Di bawah sana, ribuan manusia berjalan seperti koloni semut. Kulit mereka legam terbakar panas, tubuhnya bagai tulang tak berdaging. Sebagian besar lelaki berjalan bungkuk dengan karung-karung besar di punggung. Perempuan lalu lalang menyunggi kendi-kendi raksasa. Anak-anak mengais tanah. Busung lapar. Amat menyedihkan.

“Akulah Sang Raja Absolut yang akan kau hadapi kali ini.” Ia menepuk pundakku. “Jangan khawatir, aku bukan orang yang jahat. Kau bisa menikmati jamuan di istanaku sembari beristirahat, lantas akan kubiarkan kau pergi dari tempat ini. Tak perlu misi-misi merepotkan, buat dirimu santai.”

Aku tak menjawab.

Kami melanjutkan perjalanan. Raja itu menaiki seekor unta, sedangkan aku mengikuti dengan keledai di belakangnya. Di dalam kota, semua orang di sekitar kami sejenak menghentikan pekerjaannya, kompak bersujud, memberi salam. Dari dekat, kondisi mereka yang mengenaskan tampak semakin jelas. Anak-anak kelaparan memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya. Mata-mata sayu dan kelelahan. Deru napas yang menyatu dengan angin panas.

Langkah kaki unta berpunuk dua di depanku melambat. Penunggang raksasa di atasnya melompat turun, dan hal yang terjadi selanjutnya membuatku tak sanggup mengedipkan mata. Raja itu berteriak memaki, lantas menghajar seorang lelaki tua dengan membabi buta.

“Berani sekali kau mengangkat kepala! Beri hormat yang benar!” Jeritnya. Lelaki tua itu sudah bonyok berdarah-darah, lantas seorang gadis kecil berlari terseok-seok menengahi keduanya.

“Mohon ampun, ampuni ayah saya, Yang Mulia!” Anak itu mulai menangis. Namun si Raja kurang waras itu tampak tak peduli, ia layangkan tangannya pada wajah si kecil itu, membuatnya terpelanting.

“Dengar, semuanya! Sebagai hukuman atas penghinaan ini, kalian harus mengirimkan upeti dua kali lipat dari biasanya!” Raja itu berseru. Henyak napas semua orang terdengar memenuhi tempat itu.

Kami melanjutkan perjalanan. “Kau memalak upeti dari mereka?” Tanyaku, memberanikan diri.

Raja itu menghembuskan napas kesal, “Mereka semua sudah kubeli. Upeti itu hanya istilah saja, sehari-harinya mereka memang makan dengan bekerja padaku.” Ujarnya.

Barulah aku tersadar, pria ini adalah tirani yang memimpin perbudakan kejam.

Istana adalah tempat yang jauh berbeda dari dunia di luarnya. Di balik tembok pertahanannya berdiri pohon-pohon rindang, dan tergenang sebuah oasis. Sebuah kubah berdiri megah setinggi belasan meter. Di dalamnya harum rempah menguar dari segala sudut. Puluhan pekerja mondar-mandir, menyiapkan sebuah meja jamuan untuk kami.

“Duduklah,” Raja Absolut—setidaknya begitulah ia menyebut dirinya—mempersilahkan aku mengambil tempat di samping kanannya. “Tercium wangi tempat ini?”

Aku mengangguk, “Harumnya berbeda dari tempat-tempat di dekat pintu masuk tadi.” Ujarku, merujuk pada aroma rempah yang sempat kusinggung tadi.

Raja itu tersenyum senang, “Bagus kau sadar akan hal itu.” Ia menjentikkan jari, lantas mengambil sebuah mangkuk dari meja dibelakangnya. “Ini potpourri, buatanku sendiri.” Matanya berbinar seperti anak kecil, bangga akan hasil karyanya.

“Keren,” aku berujar datar. Benda itu hanyalah kerajinan sederhana yang kupelajari waktu kelas 5 SD.

“Mari kuajari sembari menunggu makanan datang.” Ajaknya antusias. Aku diam saja, membiarkan pria besar itu melakukan apa yang dia inginkan.

“Pertama-tama, kumpulkan semua bahan.” Ia bangun dari kursinya, meminta sesuatu ke pelayan, lantas kembali dengan nampan berisi toples, cengkeh, kelopak bunga, dan ekstrak vanilla.

“Setelah terkumpul, letakkan semua bahan di nampan bersih.” Ia memberi intruksi, mau tak mau, kuturuti ucapannya itu dengan terpaksa. “Jangan ada yang saling menumpuk!” Titahnya lagi.

“Nah, selanjutnya keringkan bahan-bahan ini. Tapi jangan di bawah sinar matahari langsung, karena aromanya akan hilang. Lebih baik keringkan bahan potpourri di ruangan yang sirkulasi udaranya baik.” Ia menjelaskan panjang lebar.

“Dikeringkan berapa lama?” tanyaku, malas.

“Kita butuh beberapa hari.” Ia berujar riang.

Aku mengeryit, “Kau minta aku tinggal beberapa hari hanya untuk membuat pewangi ruangan?”

“Kau tidak mau?” Suaranya turun seoktaf, sorot matanya berubah serius. Pria berbadan besar itu tampak tak senang.

Mengenali gerak-geriknya, aku segera meralat ucapanku, “Tinggal beberapa hari sepertinya bukan masalah.”  

Aku tidak mau dihajar seperti budak-budak tadi.

Beberapa hari berlalu seperti neraka. Waktu bergerak selambat siput, dan aku hampir mati frustasi karenanya. Raja itu terus menekanku dengan kekuatan yang ia miliki. Mau tak mau aku menuruti semua perintahnya. Ia mengoceh sepanjang hari dan aku dipaksa mendengarkan. Ia membuat lelucon garing dan aku harus tertawa terpingkal-pingkal. Kuturuti ia berkeliling kesana-kemari tanpa beristirahat. Benar-benar menjengkelkan.

Berita baiknya, penderitaan itu sudah selesai. Bahan wewangian itu kering dengan baik.

“Letakkan di manguk atau toples,” Raja itu memasukkan semua bahan potpourri ke dalam toples terbuka. “Sudah jadi! Letakkan di tempat yang kau mau.” Ujarnya.

Wewangian itu kuterima sebagai hadiah dan ia membiarkanku pergi melewati tebing selanjutnya.

***

“Yo, yo, yo! Bocah kecil, sudah lama tak bertemu!” Tepat setelah aku masuk ke hutan tempat misi selanjutnya berada suara berat perempuan terdengar di telingaku. Setelah itu sebuah tangan tersampir di bahuku. Orang ini baru datang sudah sok akrab saja.

Gu menatap ke orang yang baru datang tadi, seorang perempuan barbarian dengan otot dan tinggi semampai yang membuatnya tidak bisa menahan rasa iri di hatinya, bagaimana mungkin perempuan dapat lebih macho dibandingkan aku yang laki-laki ini. Tetapi ada satu hal yang membuatku memiliki firasat buruk, si perempuan barbarian, atau sebagaimana ia ingin dipanggil yaitu Pedang Dari Utara, membawa pedang raksasa yang rasanya bisa membelah lebih dari 1 pohon dalam satu tebasan.

Aku membuka mulut, ingin menyelesaikan misi ini secepat mungkin. Aku sudah lelah setelah penyiksaan dari raja tangan besi tadi, “Jadi kita harus apa?”

“Gampang, kok, tinggal lewatin hutan ini aja.” Perempuan barbarian itu tersenyum naif ke arahku. Setelah sering terjebak dalam ucapan polosnya itu, aku mengerutkan kening, tidak percaya sama sekali kepadanya.

Melihat wajah tidak percayaku Pedang Dari Utara mengulangi perkataannya sambil memasang kedua jarinya dalam posisi peace, membuatku menghela nafas pelan, aku tidak punya bukti tentang kebohongannya jadi satu-satunya cara ialah mempercayainya.

Setelah 5 menit berjalan aku sudah menyesal karna percaya dengan wanita yang berlari di sisinya sambil tertawa riang, bayangkan saja di belakang mereka sekarang ada raksasa dengan tinggi yang sepertinya melebihi 15 meter, jika bukan karna hidupnya bergantung dengan seberapa cepat ia bisa kabur sekarang, ia akan mengambil beberapa waktu untuk memukuli si penipu bernama Pedang Dari Utara.

Sepertinya pelarian ini telah sampai pada akhirnya, ia berhasil ditangkap oleh manusia titan dengan rambut hitam, untungnya si Pedang Dari Utara ikut ditangkap bersamaku, walau dia 100% yakin wanita itu ditangkap karna niatnya sendiri, bukan sepertinya. Raksasa itu akhirnya membuka mulutnya lebar-lebar melemparkan dirinya dan Pedang Dari Utara kemulutnya sendiri.

Entah keberuntungan dari mana sang raksasa tidak menggigit kami, sehingga mereka tidak akan mati karna tubuh terbelah melainkan langsung menelan mereka berdua hidup-hidup setelah terus jatuh ke dalam tubuh si raksasa tersebut Gu akhirnya melihat epiglotis yang berfungsi menutup batang tenggorokan ketika proses menelan, agar makanan tidak masuk ke saluran pernapasan, setelah ia pikir-pikir dibanding melalui tenggorokan yang berfungsi sebagai tempat lalunya udara lebih baik daripada melalui kerongkongan yang fungsinya sebagai tempat masuknya makanan, karna sepengetahuanku, aku bisa ke jantung jika melalui proses pernapasan, jika melalui tenggorokan aku hanya akan ke lambung, usus halus, usus besar dan anus.

“Oy Pedang Dari Utara, bisa kau gerakan epiglotis di depan ini, kau hanya perlu membukanya hingga kita bisa lewat,” Kataku sambil menunjuk epiglotis yang dimaksud. Pedang Dari Utara lalu memandangku dengan pandangan penuh kesenangan, membuatku menelan ludah gugup, mungkin cara ini agak gila dengan kekuatannya tapi cara inilah yang paling jelas dan mungkin di pikiranku saat ini.

Ketakutanku benar, epiglotis raksasa itu bukan hanya tergerak, tetapi hilang sepenuhnya membuat kita langsung meluncur ke kerongkongan, kita meluncur jauh hingga mencapai trakea, aku yang ingat fungsi tempat ini ketakutan, “Aku, kan, bukan kuman! Semoga tubuhnya paham itu.” Gerutuku dalam hati. Baru ingat fungsi dari trakea, lendir di sekitar yang mencoba menahan kita, ternyata dapat diatasi dengan mudah, yaitu Pedang Dari Utara yang terus melayangkan pedangnya ke segala arah, untung saja aku belum terkena serangan acaknya.

Seolah tak paham penderitaanku, aku dan Pedang Dari Utara yang sedang tertawa kesenangan di sebelahku melewati banyak hal mulai dari diafragma, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. “Hei, ayo ikut aku, kita harus ke jantung untuk mengalahkan raksasa ini,” dengan cepat aku berteriak ke Pedang Dari Utara yang langsung ngacir mengikutiku, untung saja dulu waktu sekolah dasar ia mendengarkan pelajaran dengan agak seksama hingga ia bisa hidup hingga saat ini

 

Aku dan Pedang Dari Utara melalui kapiler mengalir ke jantung, dan sebelum jantung terpompa lagi, hingga kita kearah yang aneh aku memberi kode ke arah Pedang Dari Utara, paham kodeku Pedang Dari Utara mengangkat pedangnya tinggi-tinggi menyerang ke arah jantung raksasa, sekaligus mengoyakan kulit luarnya. Setelah raksasa itu berhasil dihabisi dari dalam olehku dan Pedang Dari Utara, raksasa itu jatuh dengan keras membuatku berlari keluar dari tubuh dan bergerak ke timur, dan si Pedang Dari Utara pergi ke arah berlawanan.

“Aduh..” aku mengaduh pelan, sial dia harus melempar dirinya, walau itu lebih baik daripada ketiban raksasa dari sudut pandang manapun, lalu sebuah pemikiran sederhana masuk ke otakku, bukankah dengan kondisi Pedang Dari Utara tidak bisa melihatku dan selama misi para dewa lain tidak akan mengganggu bukankah waktunya kabur?

Dengan cepat aku mengambil pegangan di kakiku, dan lari dengan cepat melintasi hutan, dan ke arah timur, dari belakang aku bisa mendengar suara teriakan Pedang Dari Utara, tetapi tetap tidak kupedulikan dan lari.

Setelah beberapa waktu terus berlari, hutan mulai menipis dan berakhir dengan ujung pantai. Aku berhenti berlari dan terengah-engah kelelahan, para makhluk sialan ini tidak pernah berpikir sebelum memberikan misi. Mereka pikir aku manusia jenis apa bisa menyelesaikan misi sejenis ini, lebih baik aku kabur.

“Buat kapal selam,” Aku berharap dan boom! Kapal selam itu muncul, memang satu-satunya hal baik di pulau ini ialah perwujudan harapanku. “Lihatlah kalian dewa-dewa jahanam, aku tidak akan bertemu kalian lagi!” Aku mengutuk sambil masuk ke kapal selam dengan riang.

Setelah sekitar 15 menit berjalan, aku berkeliling di sekitar kapal dan melihat pemandangan terlihat ikan dan terumbu karang yang sangat cantik. Brak! Aku terlonjak kaget. Apa terjadi sesuatu atau ada yang salah? Dengan berlari aku membuka pintu ruang observasi. Terlihat kapal selam ini perlahan-lahan naik, menuju ke permukaan.

“Apa-apaan ini, sial!” Aku mencoba memencet setiap tombol yang ada, berharap agar salah satu tombol ini bisa membuat kapal kembali ke menyelam dalam lautan. Tapi tak peduli apa yang kulakukan, kapal ini terus mengarah ke permukaan.

“Hahaha! Lihatlah bodoh, bahkan laut pun tidak mengizinkanmu pergi!” Suara tawa Philip yang kekanakan memenuhi pendengaranku.

“Kau yang melakukan ini?!” Aku berteriak ke arah langit, yakin bahwa dewa-dewa itu menonton.

“Kau tidak boleh kabur seenaknya ketika misi yang dibuat untukmu belum selesai.” Kata Raja Absolut, masuk dalam percakapan.

Agh! Aku sudah lelah dengan misi-misi ini. Biarkan aku pergi dan hidup sesuai kehendakku!” Aku berteriak, sudah stress  dengan semua yang terjadi.

“Yah karena kau sangat ingin kabur, mau membuat perjanjian denganku?” Suara Philip terdengar lagi. Namun bukan dengan nada kanak-kanaknya yang biasanya yang ia gunakan, tapi dengan nada licik, yang tidak kuharapkan akan muncul dari anak kecil sepertinya.

“Mengapa kapal selammu tadi mengapung? Apa harapan yang kuinginkan?” Philip mengatakan dengan tenang, walau tidak bisa melihat wujudnya, aku bisa merasakan matanya memincing tajam kearahku.

Aku tertawa dalam hati, apa ia pikir aku sebodoh itu sehingga tidak tahu? Aku dengan percaya diri membuka mulut, “Kau berharap agar kapal selamku naik ke permukaan bukan?”

“Hahaha! Seperti yang kuharapkan dari orang bodoh sepertimu, berpikiran sangat sederhana sekaligus sangat bodoh.” Suara tawa Philip menggema, sedangkan aku hanya bisa menggigit lidah, apa-apaan mana mungkin jawabannya bukan hal ini.

“Apa maksudmu! tentu saja kau berharap hal itu, bukan? Jika tidak, bagaimana mungkin kapal selam ini bisa naik ke permukaan?” Aku tidak terima, bagaimana mungkin dewa bodoh ini bisa melakukannya jika tidak begitu.

“Bukan, aku hanya berharap agar massa jenis air laut kita ditinggikan, sehingga kapal ini akan mengapung. Begitu saja tidak paham.” Philip kembali mengejekku.

“Yah, sebagai hukuman, berenanglah kembali ke pulau, ya? Atau kau ingin melanjutkan perjalanan ke antah berantah sana?” Selesainya perkataan itu, kapal selam tadi menghilang dan aku sendirian di lautan lepas. Sambil menahan seluruh rasa amarah aku kembali berenang ke pulau, melanjutkan misi menjengkelkan itu.

Aku mencoba menstabilkan napasku. Berenang selama lebih dari 30 menit membuat napasku tak stabil, selain itu kakiku juga kram, untunglah aku masih bisa selamat.

“Oy, orang bodoh! Jangan mati! Jika kau mati siapa yang mendengarkan wejangan bijakku?” Suara Raja Palsu muncul. Membuatku yang sudah lelah ini semakin lelah.

“Mana mungkin dia mati cuma karena berenang sebentar?” kali ini suara Pedang Dari Utara.

“Siapa suruh dia bodoh? Padahal tinggal meminta harapan sebuah kapal atau alat renang. Tapi tidak lewat di otaknya yang kecil itu.” Suara Philip terdengar lagi, menamparku atas kenyataan bodoh yang harusnya tadi kulakukan.

“Aku sudah memikirkan itu kok! Aku hanya mencoba, hachuu!” Hidung sial, bisa-bisanya bersin disaat seperti ini.

“Duh, imunmu lemah banget. Baru berenang sedikit aja udah pilek!” Pedang Dari Utara mengejek.

“Heh, biar begini aku ikut suntik imunisasi waktu kecil dulu!” Aku berseru. Enak saja si otak otot itu mengataiku.

“Hanya karena kamu telah di suntik imun bukan berarti tubuhmu tidak bisa diserang penyakit, menjaga kesehatan tubuh tentu saja penting.” Suara Raja Absolut yang terdengar sekarang membuatku dan Pedang Dari Utara terdiam, memang wibawa orang ini berbeda.

Tiba-tiba aku tidak merasakan dingin lagi, dan sesaat kemudian terdengar suara, “Aku sudah berharap untuk menyehatkan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuhmu, tolong jangan sakit lagi, mengganggu.” kata Raja Absolut

 

“Baiklah-baiklah, dibandingkan kalian menggangguku, mari kita melanjutkan misinya.” ucapku, “Apa misi selanjutnya?”

“Baik, kau bersamaku sekarang.” Suara si Pelerai terdengar di kepalaku, yang berarti dia tidak akan muncul dan hanya menemani perjalanan ini

“Jalan apa yang akan kita lewati? Jangan susah-susah!” aku berkata dengan kecut, masih sakit hati dengan kejadian tadi.

Tanpa memeringati apapun kepadaku tiba-tiba bidang di depanku berubah lagi, suasana kota di dunia nyataku membawa rasa nostalgia, tetapi di depanku kini penuh orang beramai-ramai membawa papan ataupun hanya berjalan.

“Nah misimu sederhana, temani aku bicara dan cobalah keluar dari demo ini,” kata Pelerai santai, aku agak kaget setelah mengalami misi yang anehnya melebihi batas manusia, ini sih seperti permainan kanak-kanak.

“Heh orang gak guna, minggir aku mau lewat,” aku membentak orang didepanku, mereka harus membuka jalan untuk orang penting sepertinya, tetapi si sialan di depan mataku malah melihatku dengan tatapan aneh, dan tak mengacuhkanku.

“Buahaha… ketika kau bosan kau harus mencoba menjadi pelawak, kau itu bukan orang penting bagaimana mungkin kau berpikir orang-orang akan menyingkir karna kau suruh,” aku bisa merasakan pipiku merah, menahan malu, sial kalau saja bukan karna orang tadi dia tidak harus menahan malu seperti ini.

Dengan perlahan melewati berbagai orang, dan ditubruk berbagai orang aku berjalan melewati tempat ini sambil menahan kutukan yang rasanya sudah berada di ujung bibirku, selain itu bukankah si Pelerai berkata ingin menemaniku berbicara, sekarang dia malah meninggalkanku sendirian dengan tempat ini, tetapi setelah beberapa saat di sini aku baru paham, ini ialah demo untuk Black Lives Matter, salah satu demo yang sering kulihat di aplikasi burung akhir-akhir ini.

“Ah awalnya aku ingin berbicara denganmu, tapi kau sepertinya tidak tahu apapun tentang demo ini, bagaimana kalau kamu berbicara kepada salah satu pendemo ini, baru kembali bicara kepadaku, bye..” Lalu dengan itu si Pelerai meninggalkanku sendirian, dasar dukun itu, kalau ada tubuh fisiknya akan kutarik semua kain yang ada di kepalanya.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar mencari orang yang terlihat mudah diajak bicara, dan aku memusatkan pandanganku ke seorang anak seumuranku yang juga ikut demo itu, harusnya berbicara ke orang seumuranku akan lebih mudah.

Dengan lembut aku menghampiri pria seumuranku yang menjadi salah satu aktivis demo di demo ini, “Apa aku boleh bertanya ? Demo ini benar untuk BLM bukan ?”ucapku dengan nada sebaik mungkin, kearahnya bahkan hingga kutambahkan senyum kecil, yah walau aku yakin itu tidak sampai ke mataku.

Orang itu memutar kepalanya, melihatku yang berada di belakangnya, “Ya. Kenapa memangnya ?” katanya ketus, membuatku menggerutu dalam hati, astaga ada apa orang-orang ini dan sikap ketus mereka, seandainya mereka lebih baik, dan murah hati dengannya.

Dengan cepat aku mengubah arah komunikasiku kembali ke Si Pelerai, “Oi, aku perlu menanyakan apa ?” tanyaku cepat takut orang di depanku menganggapku aneh

 

“Tanya saja apapun yang ada dipikiranmu,” tentu saja aku akan menerima jawaban tidak berguna dari pria ini, memang melelahkan.

“Mengapa kau memutuskan untuk mengikuti demo ini?” ucapku, dengan dasar penasaran, maksudku kalau ada orang hitam yang meninggal karna orang putih lalu kenapa? Bukankah kematian ialah sifat alami manusia kalau ia tak mati, bukankah aneh.

“Hah? Kau ini tidak punya rasa kemanusiaan ya? Kau tau ini demo Black Lives Matter, berarti kau tau kan alasan kita melakukan demo ini, kejadian yang membuat gerakan ini makin bersuara? Kalau kau tau kau tidak akan mengatakan perkataan itu, dasar orang tanpa rasa kemanusiaan!” Marah pria itu, sialan jika tau dia orang yang sesensitif ini pasti aku memilih orang yang tampilannya lebih ramah, dan sabar, dibandingkan orang sepertinya.

Dengan tampilan seramah mungkin aku mencoba melanjutkan “Hahaha.. bukan begitu maksudku, maukah kau jelaskan kepadaku yang tak tahu apa-apa ini tentang gerakan itu?” Aku menunjukkan wajah sepolos yang aku bisa, dan aku bisa mendengar suara tawa kencang bergema di otakku.

Setelah keheningan singkat yang terjadi diantara aku dengannya, ia membuka mulutnya lagi “Baiklah. Semua manusia layak untuk hidup bukan tanpa peduli warna kulitnya. Tanpa peduli dia itu hitam, putih, atau apapun, black lives matter ialah gerakan bahwa orang-orang berkulit hitam layak mendapatkan kehidupan karna semua kehidupan itu berharga, tanpa terkecuali.”

“Ah.. terima kasih aku sudah mendapat gambarannya,” Aku cepat-cepat ingin menyelesaikan percakapannya, tapi sepertinya orang ini tidak berpikir seperti itu.

“Tetap bertahan pada imanmu, dunia memang sudah sangat penuh dengan orang jahat, aku tidak tahu tentang imanmu tapi aku seorang katolik dan berdasarkan ajaran gereja yang ditulis oleh paus sendiri, semua orang ialah citra Allah maka dari itu hargai dan beri hak yang sama kepada tiap orang,” dia mengatakan itu sambil melihat ke mataku, membuatku merasa percakapan ini seolah hanya untukku, aku meneguk salivaku, untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering.

Lalu orang itu pergi mengikuti demo lagi, meninggalkanku sendirian dalam keheningan di tempat yang sangat ramai ini, “Hahaha manusia ini lucu sekali, mereka bahkan tidak perlu aku untuk mencerai berainya, mereka akan tercerai berai sendiri,” suara di kepalaku membuat kesadaranku yang sepertinya telah pergi jauh, kembali.

Setelah menggelengkan kepalaku pelan untuk mengusir kata-kata tidak penting itu aku menjawab si dukun satu itu, “Cih kamu terlalu meremehkan manusia,” aku mengatakan itu kearahnya, mungkin manusia itu lemah, tapi sayangnya aku salah satu dari manusia maka Ia seratus persen salah.

“Wow, itu sungguh keluar dari orang sepertimu,” ucapnya dengan nada meremehkan, “Aku dewa perpecahan, tetapi menurutku dibanding membuat perpecahan di depan mata seperti ini yang bisa diapndang dengan jelas, membuat perpecahan di dalam hingga tak ada satu orangpun yang menyadarinya kecuali dirinya sendiri seperti di dalam..” dia menghentikan ucapannya, tapi tanpa mengetahui akhir katanya, aku bisa merasakan pandangan mata tak kasat mata tertuju kearahku. Aku menggertakan gigiku, walau dewa perpecah belai sendiri yang mencoba menjatuhkanku, dengang diriku saja sudah cukup. Tidak perlu orang dan iman tidak penting, hanya aku, pasti bisa menjatuhkan dewa sepertinya jika mau.

“Jika kau ingin menggoyahkanku, maka kau menggoyahkan orang yang salah,” ucapku, di saat yang bersamaan aku sudah berhasil keluar dari kota metrapolitan yang terasa menyesakan di tengah demo tidak penting seperti ini, apalagi ditemani oleh dukun jadi-jadian dalam otakku, lebih baik kalau itu cewek cantik, sudah cowok, dukun lagi untung sudah selesai.

“Yah sudah selesai, lanjutkan perjalananmu, dan.. aku menunggumu pecah, Guifi.” setelah itu kehadirannya menghilang, meninggalkanku sendirian di ujung jurang

 

***

Birunya langit merambat turun seperti segelas air yang diseruput. Seperti ada yang iseng  menumpahkan tinta, langit menghitam dengan cepat. Lepas dari medan sebelumnya, hawa dingin menyergapku. Makin jauh aku berjalan, makin sulit aku menggerakkan tulang. Rasanya seperti mau membeku. Aku mengigil hebat.

Dan kini langit sempurna gelap, hitam pekat selebar apapun aku membuka mata. Dalam kegelapan itu pula aku meraba-raba seperti orang buta. Kakiku tenggelam dalam salju. Tersaruk-saruk, terus maju. Makin lama lapisan es dibawahku semakin tebal. Sesekali aku tersandung, jatuh. Angin berhembus kian kencang, menamparku dari segala sisi. Dingin, beku, menggigil. Gigiku rapat mengatup, bergemeletuk. Tubuhku mulai mati rasa. Entah sudah berapa lama aku berjalan di tengah kegelapan tak berujung ini.

Aku terkapar. Segalanya mendadak sunyi. Tak kudengar lagi deru angin dingin yang ganas mencabikku. Kini aku sempurna buta dan tuli. Sepertinya aku akan mati membeku di tempat ini. Sendirian, di tengah hamparan salju dan ditelan kegelapan malam. Hujan es akan menguburku dan jasadku tak akan pernah ditemukan. Kurasakan kesadaranku kabur pelan-pelan. Semua memori di otakku berjejalan keluar, melintasi mataku yang terpejam, meninggalkan pemiliknya yang tinggal menunggu ajal.  

“I know you, I walked with you once upon a dream…”

Aku mengerjap. Tubuhku terasa begitu ringan hingga rasanya seperti melayang.

Setitik cahaya merekah di ujung garis pandangku. Cahaya itu terpecah kuning—hijau. Terus menjalar seperti matahari terbit, membentuk sulur-sulur yang menari-nari di langit. Aku merinding. Pemandangan ini selalu ada dalam mimpiku. Cahaya kutub yang sempurna, Aurora borealis.

“I know you, that look in your eyes is so familiar a gleam
And I know it's true that visions are seldom all they seem”

Perhatianku teralihkan pada sebuah suara merdu. Seorang wanita berdiri di bawah cahaya-cahaya itu. Rambut panjangnya tergerai sepinggang. Ia mengenakan berlapis-lapis satin keperakan, tak terusik oleh angin dingin. Ia bertelanjang kaki, gemulai mendekati sebuah pohon raksasa yang entah bagaimana munculnya. Mata perempuan itu terlihat mengantuk, dan suaranya mendayu-dayu. Saat tatapan kami akhinya bertemu, sudut bibirnya terangkat naik. Tangan wanita itu terjulur, menunjuk sebuah titik di belakang kepalaku. Dan saat itulah kutemukan diriku aku yang sudah terbujur kaku. Beku dibungkus salju.
               

“But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once, the way you did once upon a dream”

Suaranya naik melengking diiringi angin dingin di sekitar kami yang terdengar seperti siulan. Gemerisik pohon, dan suara tak terdengar dari cahaya aurora yang menari-nari. Hujan salju dan gemerlap milyaran bintang di langit malam. Tubuhku—maksudnya rohku—melayang-layang. Naik, terbang tinggi meninggalkan daratan.

“But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once
The way you did once upon a dream

I know you, I walked with you once upon a dream
I know you, that gleam in your eyes is so familiar a gleam
And I know it's true that visions are seldom all they seem
But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once, the way you did once upon a dream..”

Putri Salju itu menyelesaikan lagunya sembari melambaikan tangan. Aku melayang semakin tinggi, semakin ringan. Semakin kosong, dan semakin hilang. Once Upon a Dream, soundtrack dari film Sleeping Beauty. Lagu itu tentang cinta, satu-satunya hal yang Gu si Hebat ini tak pernah miliki. Cinta dalam hati anak yang mati membeku itu habis dimakan ego dan kesombongannya sendiri. Maka segalanya kini masuk akal. Aku memang pantas mampus seperti ini, dan semuanya akan kuterima dengan lapang dada.

Aku terbang meninggalkan bumi, menembus bintang-bintang, dan tersesat di kehampaan. Sepi dan sunyi. Sendirian. Lalu segenggam kesedihan merasuk begitu saja, menjejalkan dirinya dalam lubang kekosongan yang terbentuk seiring naiknya aku kesini. Kesedihan tanpa alasan yang membuatku seperti mau mati (lagi). Aku menangis meskipun tidak lagi mempunyai mata dan air mata. Terisak-isak tanpa bunyi, hingga kurasakan tubuhku terkoyak menjadi seribu bagian.

Aku menjadi atom yang menyatu dengan kehampaan. Terkatung dan terlunta. Menyakitkan sampai tidak ada rasanya. Lalu dalam sekejap, aku merasa semua partikel tubuhku itu tersedot. Menyatu. Aku sempurna pepat sebagai manusia lagi. Kutarik napas panjang, terengah-engah.

Seorang anak kecil menatapku tajam.

 

The Teenage Years

By Sarah Grey

We learn from our mistakes,
From the wrong turns we take,
From the fake friends we make,
And from the times we almost break.

Our mistakes help us grow,
But at the time, we didn't know.
We didn't want our weakness to show.
At the time, we couldn't let them know.

Our fake friends were there,
But they didn't actually care
Our secrets they would share,
And now as we pass, they just stare.

Not breaking means you're strong.
You'd know where you went wrong,
As if you weren't waiting so long
To explain yourself, but stay strong.

So here's to the liars and traitors,
All the wannabes and haters
And learning from our mistakes
And learning to spot the fakes.

Dadaku terisi penuh. It is about bad experiences in friendship, and how I had to be able to deal with them strongly.

Anak laki-laki itu menyelesaikan puisinya dengan lugas, berhenti selangkah di hadapanku. Aku tertegun menatapnya. Tingginya tak jauh beda dengan Si Raja Palsu. Anak itu begitu kurus dan kecil. Kulitnya kusam, rambutnya tak terawat. Namun matanya sungguh cemerlang.

Ia menatapku dengan berani dan nyalang, penuh cahaya kehidupan. Ia sedang marah. 

“Ingat aku?” Tanyanya, suaranya ringan dan merdu. Tentu saja aku ingat. Aku kenal sekali dengan anak ini. Ia adalah Gu kecil yang ceria. Anak yang berani melahirkan mimpi-mimpi hebat dalam kepalanya. Ia adalah aku yang masih kecil. “Kamu keterlaluan, Gu.” Katanya lagi.

“Kenapa kau masih ada?” Aku tercekat, mundur.

“Selama kau ada, kami akan tetap ada, Gu.” Anak itu tersenyum pedih, “Kami adalah bagian dari dirimu.”

“Kami?”  Aku memastikan.

Aku versi kecil itu menangguk. Di belakangnya terbayang 6 sosok yang tak asing bagiku. Si Raja Palsu yang congkak, Pelerai, Raja Absolut, Pedang dari Utara, Lentera yang menyebalkan, hingga Aurora si Putri Salju yang muram. Baru aku sadar, mereka semua adalah perwujudan dari sifat-sifatku. Aku yang congkak, egois, dan menyebalkan. Tidak bersemangat, suka memaksa, dan benci saat orang lain bahagia.

Rupanya begitu.

Tatapan Gu kecil melembut, ia maju dan meraihku dalam pelukannya. “Biarkan mereka tidur,” bisiknya, “Kami minta maaf.”

Begitulah, aku menutup mata.

***

Bruk! Seperti dijatuhkan tiba-tiba, aku tersentak kaget. Badanku tidak bisa digerakkan. “Ah, sakit banget…” Gerutuku pelan.

“Eh!”

“Kakak!”

Suara di sekitarku masuk dengan cepat. Salah satu dari mereka berteriak sangat kencang entah mengapa. Kepalaku berdenyut sakit, aku mengutuknya dalam hati.

Kekacauan itu reda sementara aku mengambil waktu untuk membuka mata (yang tidak membuahkan hasil). Lalu setelah suara orang-orang tanpa henti yang tidak kuketahui apa itu mulai menghilang, aku mencoba membuka mataku lagi. Kali ini bukannya sinar yang menyambut pandanganku, melainkan wajah Mama yang menangis. Aku sudah pulang.

 

Selesai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer