BBL E-Cerpen Tema 4-5 - The Oldest Dream
BBL E Cerpen Tema 4-5 -- Semester 3
Mariza XI MIPA 1/21 & Vannya XI MIPA 1/29
The Oldest Dream
Aku akan mulai cerita ini dengan
kata “aku” karena aku adalah orang yang egois, songong, dan sangat mengagungkan
diriku sendiri. Semua orang yang mengenalku tahu akan hal ini, karena itu
mereka memanggilku seperti ini:
“Gu Yang Agung, kamu disuruh mama
antar pesanan, tuh!” Teriak Guvina dari bawah tangga.
“Nggak mau!” Jeritku.
Abaikan kata-kata di belakang Gu
Yang Agung, karena aku hanya ingin kalian memperhatikan julukanku itu. Namaku
Guifi, biasa dipanggil Gu. Namun karena tingkahku di rumah ini bagaikan seorang
maharaja, adik dan mama memakai “Gu Yang Agung” untuk menyidirku.
“Gu, sumpah, mama lagi sakit!” Bocah
SMP itu berteriak lagi.
“Sudah-sudah, jangan bertengkar.”
Mama berjalan terbungkuk-bungkuk dari kamarnya. Wajah perempuan itu sepucat
kertas, bibinya kering mengelupas. Tiap kali terbatuk badannya akan bergoyang hebat
seperti hendak terjerembab.
Sebetulnya aku sedikit kasihan
melihatnya. Namun aku benar-benar lelah dan tidak sanggup berjalan mengantar rantangan-rantangan
itu.
Mama adalah seorang pengusaha catering
rumahan. Kami tinggal di Situbondo, di salah satu daerah tambak udang terbesar
di Jawa Timur. Karena itu menu andalan mama adalah makanan olahan udang. Hal ini
cukup menyebalkan karena aku alergi udang, jadi aku jarang bisa mencicipi
makanan-makanan buatannya itu.
“Kakak yang salah, Ma!” Guvina
berteriak frustasi.
“Aku tidak melakukan apa-apa,
kok!” Seruku, membela diri.
“Itu masalahnya! Kau tidak
melakukan apa-apa, pemalas. Tidak mau susah, dan mau enaknya saja!” Balasnya.
“Tentu saja, mana ada orang mau
bersusah-susah.” Aku mengendikkan bahu.
“Nggak ada orang yang mau susah,
tapi banyak orang yang mau hidup enak. Kamu termasuk golongan orang yang nggak
mau susah tapi minta hidup enak dengan menyusahkan orang lain.” Cercanya, kasar.
“Baca biografi orang-orang sukses, Gu. Mimpi Sejuta Dollar, Merry Riana harus
bekerja keras menyebar brosur, menjaga kios, bahkan menjadi pelayan hotel
sebelum akhirnya menjadi kaya raya.”
Aku mendengus malas. “Ya, kau saja yang jadi seperti itu.”
Sebelum Guvina melempariku dengan
keranjang catering, aku segera meloloskan diri ke dapur. Aroma yang menguar dari
tumpukan snack box itu sungguh menggugah selera. Saat kuintip, rupanya kotak-kotak
itu berisi mian bao xia—roti udang khas dari China. Lalu entah bagaimana
ceritanya, aku sudah mencomot dan memasukkan bantalan panas yang terasa gurih itu
secara membabi buta ke dalam mulutku.
Aku lupa, aku alergi udang.
***
Pernah dengar kalau orang-orang yang
koma jiwanya bisa berkelana? Sepertinya aku sedang mengalami hal itu. Yah,
paling tidak aku yakin kalau tempat ini bukan surga. Jadi kusimpulkan kalau aku
belum mati, dan sepertinya sedang pingsan, koma, atau tidak sadarkan diri saja.
Bukan tanpa alasan aku berpikir
begitu. Tempat ini terlalu aneh untuk ukuran surga. Seperti mimpi yang hinggap dalam
tidurmu saat sedang demam. Langit dan awan-awan bergerak dengan aneh, seperti creamer
yang dituangkan barista saat membuat coffee latte. Rumput di kakiku
berwarna hijau dengan aneh. Tanah memerah dengan aneh. Tebing-tebing tampak
seperti potongan film kartun—sangat aneh. Bahkan udara yang kuhirup, rasanya
seperti tidak ada rasanya dan aneh.
“Wuidih, rupanya kau sudah
sadar kalau jiwamu ada di ruang yang ganjil.” Sebuah suara bergaung dari
langit. Sumpah, segalanya makin membingungkan.
“Kenapa diam saja?” Suara
sengau itu terdengar bergaung lagi.
“Kau mau aku bicara apa?” Aku
memberanikan diri untuk bersuara. Mataku awas menjelajah sekitar.
“Minta aku tunjukkan wujud, dong!”
Aku tersaruk mundur. Suara bindeng itu terdengar dekat di telingaku.
Sedetik kemudian, pemilik suara
jelek itu muncul tepat di samping wajahku. Pria setinggi kurcaci itu tertawa
terbahak-bahak di atas kursi yang entah dari mana munculnya. Kepalanya bulat
kecil seperti semangka, dan matanya selebar bola ping-pong. Rambut jabrik dan
bibirnya berwarna oranye, gigi taringnya tanggal, dan mulutnya bau seperti muntahan
harimau.
Orang ini menyeramkan.
Setelah tawanya reda, kurcaci
jadi-jadian itu melompat turun dari kursinya. Tingginya hanya sepinggangku,
namun keras suaranya melebihi bunyi lonceng gereja.
“Ayo, ayo, ayo! Sudah jam kerja.”
Suara sengau itu turun seoktaf, raut wajahnya mendadak berubah ketus. “Jangan
malas, anak nggak berguna!” Ia menggerutu sembari menarik tanganku.
Kami melewati tebing, menuju
sebuah pasar yang berisik. Namun tempat ini tak kalah aneh dari tempat
sebelumnya. Kios-kios beratap seng berjejer rapi layaknya pasar tradisional. Pijakan
kami berupa aspal berlubang yang becek di beberapa tempat. Tapi tak ada orang.
Sayur mayur, ikan, dan daging
tertata di masing-masing lapak seperti biasa. Beberapa kios menjual rentengan
ciki, deterjen, dan kopi sachetan. Berjalan lebih dalam, gorengan-gorengan panas
dipajang di etalase. Suara orang menawar, daging yang dipotong, mesin serut
kelapa. Bau amis, dan busuk. Kecipak air kubangan, motor yang melintas, peluit
tukang parkir. Minyak panas, ketel air mendidih. Si kurcaci masih menggerutu. Aku
terus diseret maju. Penuh. Sesak. Kepalaku berputar-putar.
“Hei!” Teriak seseorang. Si Kurcaci
melepaskan tanganku dan berbalik badan. Dahinya merengut tak senang.
“Raja sudah datang!” Terdengar
seruan lainnya.
“Rajaaa!” Seisi pasar terdengar menyorakkan
penghormatan. Aku terus memutar badan, hingga menghadap kembali ke si Kurcaci. Mendadak
ia telah mengenakan jubah dan sebuah mahkota emas. Kini wajahnya berseri-seri,
tersenyum penuh kebanggaan.
Ini mengerikan. “Lihatlah,
rakyatku yang pekerja keras.” Ujarnya, lantas mengalihkan pandang ke arahku. “Ayo,
ayo, ayo! Sudah jam kerja. Jangan malas, anak nggak berguna!”
Ia menarik tanganku lagi, keributan
pasar kembali seperti biasa lagi. Tubuhku mulai kaku ketakutan. Seperti yang
sudah kukatakan, pasar ini kosong. Tak ada seorangpun manusia selain kami di
tempat ini, namun suara-suara yang ramai itu terus berputar tanpa henti.
“Ibumu penjual udang yang bodoh.”
Kata makhluk sialan ini. Kami berbelok masuk ke sebuah warung makan. Layaknya
lapak-lapak lainnya, warung ini juga kosong.
Si Kurcaci Bermahkota Raja
melepaskan cengkraman tangannya dari lenganku. Jubah kebesarannya berubah
menjadi apron, dan mahkotanya menjadi topi koki. Ia menggulung lengan
pakaiannya sampai siku dan mulai mendekati penggorengan.
Aku mengekorinya lebih dekat. Di
atas kompor dua tungku itu terletak dua wajan besar. Uap panas mengepul dari
dua kubangan minyak. Pria berambut oranye itu lantas menggoreng bahan yang ia Tarik
dari kulkas.
Tunggu, aku mengenali makanan
itu. “Ini mian bao xia, bukan?” Kusebut nama roti udang sial yang mencelakaiku
itu dengan penuh emosi.
“Benar, makanan khas China. Ibumu
harusnya tidak berjualan di kampung seperti itu. Makanan seperti ini laku kalau
dijual ke kalangan atas. Sewa toko yang layak, hidangkan menjadi menu sarapan. Jadikan
manu khas daerah setempat, apalagi rumahmu dekat tempat tambak udang. Kemasan snackbox
sudah bagus. Atur strategi pemasaran, sebar bosur, pasang iklan.” Ia bertutur panjang
lebar.
Patah-patah aku mengangguk. Kuseret
kakiku mundur pelan-pelan. Semakin lama ia memuji-muji dirinya, kepala kurcaci
itu melembung semakin besar. Seperti balon yang ditiup, kini kepalanya sudah
sebesar bola yoga. Suaranya yang sengau semakin tak jelas, “JANGAN KELUAR!”
Teriaknya, berbalik badan. Matanya yang seukuran bola ping-pong menjadi
seukuran bola kasti, dan bibir oranyenya selebar bola rugby.
Aku menjerit ketakutan, kuloloskan
badanku keluar lewat kolong meja. Berlari, kabur tanpa tahu arah.
***
Pasar hantu itu tertinggal jauh
di belakang, dan tampaknya si Raja jadi-jadian itu tak tertarik untuk mengejarku
dengan kaki pendeknya. Napasku habis, tersengal. Kakiku nyaris mati rasa. Sial
sekali. Aku harus segera menemukan cara keluar dari dunia aneh ini.
Terlebih karena segala keanehan
tadi sepertinya masih mengikutiku sampai kesini. Semilir angin meremangkan
tengkukku. Aku berbalik badan, berhadapan dengan langit barat. Matahari
menggantung rendah, langit mulai tersaput jingga. Aku mendesah berat. Lima siluet
manusia berjalan tegap dibawah siraman matahari sore. Aku bisa mendengar hati
kecilku menjerit, “Lari, Gu. Mereka masalah besar!”
Lima makhluk itu mulai kelihatan
wujudnya. Jubah bertudung yang mereka pakai membuatku tidak bisa melihat rupa
mereka dengan jelas. Namun dalam sekali lihat bentuk mereka masih bisa dikenali;
dua perempuan, dua laki-laki, dan seorang anak kecil.
“Selamat datang, nak.” Si
pria bertubuh besar berhenti di depanku, suaranya menggelegar penuh wibawa. Empat
orang lainnya terus berjalan, mengambil posisi melingkariku. Formasi mereka
terencana.
“Si Raja Palsu pasti tidak memberi
penjelasan yang seharusnya kau terima.” Ujar wanita di belakangku, menginterupsi.
Aku mencerna kalimat itu dengan baik, Kurcaci Pasar Hantu adalah Si Raja Palsu.
Harapanku mulai melambung tinggi.
Orang-orang ini terdengar seperti malaikat penolong yang diturunkan kepadaku.
“Jangan berharap banyak, Guifi.”
Kata si anak kecil yang entah bagaimana caranya sudah menebak nama dan isi
pikiranku.
“Kami memang akan menunjukkan
jalan keluar, nak.” Pria tambun berwibawa itu bicara lagi. “Untuk bangun dari
sini, lewati 5 tebing dengan 5 penjaga. Jika kau berhasil, di ujung selatan
cahaya kehidupan akan memelukmu lagi.”
Tepat kalimat itu selesai diucapkan,
gemerincing lonceng berdering memenuhi udara. Masing-masing makhluk bertudung
itu mulai terburai. Dari ujung kaki, tubuh mereka terdistorsi seperti pasir
pantai. Lebur tertiup angin.
“Tunggu dulu,-” Aku tercekat. Segalanya
berlangsung cepat sekali.
Si anak kecil yang kini tinggal
kepala itu merekahkan senyumnya, “Sedikir bocoran, ini tanah harapan. Yang
meminta akan selalu diberi.”
Lalu mereka semua lenyap.
Air pantai di depanku mulai berkurang. Pasir di
bawahku berubah menjadi tanah berbatu. Air laut yang terserap seolah melawan
dan ombak-ombak tinggi datang silih berganti, bersama dengan angin topan yang
membawa sisa-sisa pasir pantai, tetapi semua itu tidak ada artinya dengan
peristiwa yang terekam jelas di depan mataku, matahari yang kutatap dari tadi,
meledak membuatku harus menutup mata untuk menghindari sinar matahari, dengan
respon perlindungan diri yang ada di tubuhku, aku berjongkok melindungi
kepalaku, berharap peristiwa di depanku hanya mimpi, aku masih belum mau mati.
Lalu tiba-tiba kondisi di depanku berubah
bagian pasir pantai yang sangat luas menghilang di telan kegelapan di
sekelilingnya, dan membuatku hanya memiliki tempat yang sedikit untuk berdiri,
dan pemandangan di depanku juga membuat mulutku terbuka lebar menganga, aku
merasa seperti berada di dalam gunung merapi aktif. Lava menjalar tanpa henti
di sekeliling, membuat tubuhku yang merasa kepanasan mengeluarkan keringat,
selain itu kakiku juga sekarang sakit, karna batu-batu lava tersebar di sekitar
tempatku berdiri, menyentuh telapak kakiku hingga membuatnya tidak bisa
berjalan semauku.
Apa yang dikatakan si kecil tadi terlintas di
benakku, “Ini tanah harapan. Yang meminta akan selalu diberi.”
“Aku berharap mendapat sepatu,” kuucapkan itu
dengan pelan, dan sepasang sepatu muncul di kakiku, sepatu ini pasti akan
menjadi awal perjalananku. Aku tertawa setelah memikirkan tentang itu, seperti
cerita novel fantasi saja.
Setelah mendapatkan sepatu yang kubutuhkan aku
berjalan ke arah jalan setapak yang dikelilingi oleh lava panas. Tubuhku terus
mengeluarkan keringat karna panas yang terdapat pada lava melakukan radiasi.
Panas tempat ini saja mungkin sudah cukup untuk mendidihkan air, yaitu 100
derajat celcius.
“Berhenti mencoba berpikir dengan otak kecilmu
itu!” dengan nada kanak-kanak Philip berkata kepadaku. Aku yang sedang fokus
pada panas yang ada di sekelilingku memalingkan kepala ke arahnya. “Sudah ada
asap di atas kepalamu karna kau berpikir terlalu keras.” Katanya lagi.
Aku sudah paham seperti apa sifatnya,
menyebalkan dan suka cari ribut.
“Lihatlah kau berkata seperti itu? Memangnya
sepintar apa kau!” Mengejek seenaknya padahal dirinya saja pasti tidak sepintar
itu. Tetapi dia hanya menjulurkan lidahnya mengejek. “Apa kau takut? Memang kau
itu tidak sepintar itu,” kuejek balik dirinya, dasar anak kecil sombong.
“Hah? Apa maksudmu?!” Philip dengan marah
menjawab perkataanku, yah bukan seperti perkataanku salah. Tetapi ekspresi
wajahnya yang berubah dari tampilan menyebalkan ke sombong, membuatku merasa
sedikit meragukan perkataanku, tetapi karna tak mungkin tampilan anak-anak ini
menyimpan otak yang cerdas kubiarkan saja dia.
“Kita berada di wilayah lava, tepatnya didalam
gunung merapi, kau merasa panas karna panas yang ada di lava berpindah dengan
radiasi yang tidak perlu menggunakan medium dalam melakukannya,” Penjelasan
Philip membuatku menyeringai, ternyata pengetahuannya hanya selevel itu, itu
sih bukan pintar namanya. Seolah bisa membaca perkataanku Philip membuka
mulutnya lagi, “Selain secara radiasi, kalor juga dapat merambat dengan media
padat disebut konduksi, ataupun dengan media cair dan gas yang disebut
konveksi. Kalor juga memiliki efek jika diberi kepada benda yaitu kenaikan suhu
dan perubahan wujud.”
Sebelum si kecil itu melanjutkannya aku dengan
cepat menghentikannya. “Kau cukup pintar untuk seorang anak kecil,” kataku
memujinya, tetapi dia hanya menunjukkan wajah bahwa itu sudah jelas yang
membuat amarahku naik, berani sekali si kecil ini melakukan itu kepadaku.
Setelah itu dalam sepanjang perjalanan aku dan
si Philip ini menghindari setiap lava yang entah bagaimana terus meletup, dan
aku juga berusaha untuk menghilangkan senyum menyebalkan itu dari wajahnya,
padahal dia hanya lebih tau sedikit, bisa-bisanya berpikir dirinya lebih pintar
dariku. Aku mendengar perkataannya tentang kalor, suhu, celcius, reamur, dan
teman-temannya yang aku tak tahu itu apa dari mulutnya yang tak bisa berhenti
bicara selama perjalanan ini.
Setelah apa yang terasa seperti selamanya
tebing akhir terlihat di depan mataku, menyelamatkan telingaku dari obrolan
satu arah kami. Menyadari wajah sumrigahku, Philip melihat ke arah depan juga
dan memandang tebing itu juga. Sambil berdecih pelan, ia mengejekku untuk terakhir
kalinya.
Aku berpisah dengan Philip Si
Lentera di tebing perbatasan.
Medan permainan segera berganti
lagi. Panas terik menyengat, tanah yang kupijak semakin kering. Pepohonan mulai
jarang terlihat. Aku segera banjir keringat. Tepat di ujung tebing, gurun pasir
menghampar di depan mata.
“Selamat datang, nak.” Ujar
seseorang, aku merasa familiar dengan suara menggelegar ini.
“Oh?” Aku terhenyak, pria bertubuh
besar pemilik suara penuh wibawa itu sudah berdiri di sampingku. Ia bergerak
menurunkan tudung dan melepaskan jubahnya. Aku melongo, alih-laih perawakan
gagah besar yang kubayangkan sebelumnya, penampakan yang kutemukan di balik
tudung dan jubah itu justru berupa bapak-bapak obesitas dengan perut
menggelembung.
Pria itu terkekeh, “Kau butuh ini,
Gu. Matahari akan memanggang kulitmu di tempat ini.” Ujarnya, menyerahkan jubah.
Lelaki yang kini dibalut pakaian bergaya Yunani Kuno itu berjalan mendahuluiku.
“Kau siapa?” Tanyaku, tak betah
berdiam diri. Aku mengekorinya.
Makhluk berhidung bengkok dengan kulit
seputih susu itu tersenyum, lantas berhenti dipuncak jalan batu setapak yang tengah
kami lewati. “Aku hanya manusia biasa,” katanya, “Tapi mereka biasa memanggilku
Raja.”
Sekujur tubuhku merinding. Dari
sini aku bisa melihat keseluruhan kota di gurun ini. Di bawah sana, ribuan
manusia berjalan seperti koloni semut. Kulit mereka legam terbakar panas, tubuhnya bagai
tulang tak berdaging. Sebagian besar lelaki berjalan bungkuk dengan karung-karung
besar di punggung. Perempuan lalu lalang menyunggi kendi-kendi raksasa. Anak-anak
mengais tanah. Busung lapar. Amat menyedihkan.
“Akulah Sang Raja Absolut yang akan
kau hadapi kali ini.” Ia menepuk pundakku. “Jangan khawatir, aku bukan orang
yang jahat. Kau bisa menikmati jamuan di istanaku sembari beristirahat, lantas
akan kubiarkan kau pergi dari tempat ini. Tak perlu misi-misi merepotkan, buat
dirimu santai.”
Aku tak menjawab.
Kami melanjutkan perjalanan. Raja
itu menaiki seekor unta, sedangkan aku mengikuti dengan keledai di belakangnya.
Di dalam kota, semua orang di sekitar kami sejenak menghentikan pekerjaannya, kompak
bersujud, memberi salam. Dari dekat, kondisi mereka yang mengenaskan tampak
semakin jelas. Anak-anak kelaparan memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya.
Mata-mata sayu dan kelelahan. Deru napas yang menyatu dengan angin panas.
Langkah kaki unta berpunuk dua di
depanku melambat. Penunggang raksasa di atasnya melompat turun, dan hal yang
terjadi selanjutnya membuatku tak sanggup mengedipkan mata. Raja itu berteriak
memaki, lantas menghajar seorang lelaki tua dengan membabi buta.
“Berani sekali kau mengangkat
kepala! Beri hormat yang benar!” Jeritnya. Lelaki tua itu sudah bonyok berdarah-darah,
lantas seorang gadis kecil berlari terseok-seok menengahi keduanya.
“Mohon ampun, ampuni ayah saya,
Yang Mulia!” Anak itu mulai menangis. Namun si Raja kurang waras itu tampak tak
peduli, ia layangkan tangannya pada wajah si kecil itu, membuatnya
terpelanting.
“Dengar, semuanya! Sebagai hukuman
atas penghinaan ini, kalian harus mengirimkan upeti dua kali lipat dari biasanya!”
Raja itu berseru. Henyak napas semua orang terdengar memenuhi tempat itu.
Kami melanjutkan perjalanan. “Kau
memalak upeti dari mereka?” Tanyaku, memberanikan diri.
Raja itu menghembuskan napas kesal,
“Mereka semua sudah kubeli. Upeti itu hanya istilah saja, sehari-harinya mereka
memang makan dengan bekerja padaku.” Ujarnya.
Barulah aku tersadar, pria ini
adalah tirani yang memimpin perbudakan kejam.
Istana adalah tempat yang jauh
berbeda dari dunia di luarnya. Di balik tembok pertahanannya berdiri pohon-pohon
rindang, dan tergenang sebuah oasis. Sebuah kubah berdiri megah setinggi
belasan meter. Di dalamnya harum rempah menguar dari segala sudut. Puluhan
pekerja mondar-mandir, menyiapkan sebuah meja jamuan untuk kami.
“Duduklah,” Raja Absolut—setidaknya
begitulah ia menyebut dirinya—mempersilahkan aku mengambil tempat di samping
kanannya. “Tercium wangi tempat ini?”
Aku mengangguk, “Harumnya berbeda
dari tempat-tempat di dekat pintu masuk tadi.” Ujarku, merujuk pada aroma
rempah yang sempat kusinggung tadi.
Raja itu tersenyum senang, “Bagus
kau sadar akan hal itu.” Ia menjentikkan jari, lantas mengambil sebuah mangkuk dari
meja dibelakangnya. “Ini potpourri, buatanku sendiri.” Matanya berbinar
seperti anak kecil, bangga akan hasil karyanya.
“Keren,” aku berujar datar. Benda
itu hanyalah kerajinan sederhana yang kupelajari waktu kelas 5 SD.
“Mari kuajari sembari menunggu
makanan datang.” Ajaknya antusias. Aku diam saja, membiarkan pria besar itu melakukan
apa yang dia inginkan.
“Pertama-tama, kumpulkan semua
bahan.” Ia bangun dari kursinya, meminta sesuatu ke pelayan, lantas kembali dengan
nampan berisi toples, cengkeh, kelopak bunga, dan ekstrak vanilla.
“Setelah terkumpul, letakkan
semua bahan di nampan bersih.” Ia memberi intruksi, mau tak mau, kuturuti ucapannya
itu dengan terpaksa. “Jangan ada yang saling menumpuk!” Titahnya lagi.
“Nah, selanjutnya keringkan bahan-bahan
ini. Tapi jangan di bawah sinar matahari langsung, karena aromanya akan hilang.
Lebih baik keringkan bahan potpourri di ruangan yang sirkulasi udaranya baik.”
Ia menjelaskan panjang lebar.
“Dikeringkan berapa lama?”
tanyaku, malas.
“Kita butuh beberapa hari.” Ia
berujar riang.
Aku mengeryit, “Kau minta aku tinggal
beberapa hari hanya untuk membuat pewangi ruangan?”
“Kau tidak mau?” Suaranya turun
seoktaf, sorot matanya berubah serius. Pria berbadan besar itu tampak tak
senang.
Mengenali gerak-geriknya, aku
segera meralat ucapanku, “Tinggal beberapa hari sepertinya bukan masalah.”
Aku tidak mau dihajar seperti
budak-budak tadi.
Beberapa hari berlalu seperti
neraka. Waktu bergerak selambat siput, dan aku hampir mati frustasi karenanya. Raja
itu terus menekanku dengan kekuatan yang ia miliki. Mau tak mau aku menuruti
semua perintahnya. Ia mengoceh sepanjang hari dan aku dipaksa mendengarkan. Ia
membuat lelucon garing dan aku harus tertawa terpingkal-pingkal. Kuturuti ia berkeliling
kesana-kemari tanpa beristirahat. Benar-benar menjengkelkan.
Berita baiknya, penderitaan itu
sudah selesai. Bahan wewangian itu kering dengan baik.
“Letakkan di manguk atau toples,”
Raja itu memasukkan semua bahan potpourri ke dalam toples terbuka. “Sudah
jadi! Letakkan di tempat yang kau mau.” Ujarnya.
Wewangian itu kuterima sebagai
hadiah dan ia membiarkanku pergi melewati tebing selanjutnya.
***
“Yo, yo, yo! Bocah kecil, sudah
lama tak bertemu!” Tepat setelah aku masuk ke hutan tempat misi selanjutnya
berada suara berat perempuan terdengar di telingaku. Setelah itu sebuah tangan tersampir
di bahuku. Orang ini baru datang sudah sok akrab saja.
Gu menatap ke orang yang baru
datang tadi, seorang perempuan barbarian dengan otot dan tinggi semampai yang
membuatnya tidak bisa menahan rasa iri di hatinya, bagaimana mungkin perempuan
dapat lebih macho dibandingkan aku yang laki-laki ini. Tetapi ada
satu hal yang membuatku memiliki firasat buruk, si perempuan barbarian, atau
sebagaimana ia ingin dipanggil yaitu Pedang Dari Utara, membawa pedang raksasa
yang rasanya bisa membelah lebih dari 1 pohon dalam satu tebasan.
Aku membuka mulut, ingin
menyelesaikan misi ini secepat mungkin. Aku sudah lelah setelah penyiksaan dari
raja tangan besi tadi, “Jadi kita harus apa?”
“Gampang, kok, tinggal lewatin
hutan ini aja.” Perempuan barbarian itu tersenyum naif ke arahku. Setelah
sering terjebak dalam ucapan polosnya itu, aku mengerutkan kening, tidak
percaya sama sekali kepadanya.
Melihat wajah tidak percayaku
Pedang Dari Utara mengulangi perkataannya sambil memasang kedua jarinya dalam
posisi peace, membuatku menghela nafas pelan, aku tidak punya bukti
tentang kebohongannya jadi satu-satunya cara ialah mempercayainya.
Setelah 5 menit berjalan aku sudah
menyesal karna percaya dengan wanita yang berlari di sisinya sambil tertawa
riang, bayangkan saja di belakang mereka sekarang ada raksasa dengan tinggi yang
sepertinya melebihi 15 meter, jika bukan karna hidupnya bergantung dengan
seberapa cepat ia bisa kabur sekarang, ia akan mengambil beberapa waktu untuk
memukuli si penipu bernama Pedang Dari Utara.
Sepertinya pelarian ini telah
sampai pada akhirnya, ia berhasil ditangkap oleh manusia titan dengan rambut
hitam, untungnya si Pedang Dari Utara ikut ditangkap bersamaku, walau dia 100%
yakin wanita itu ditangkap karna niatnya sendiri, bukan sepertinya. Raksasa itu
akhirnya membuka mulutnya lebar-lebar melemparkan dirinya dan Pedang Dari Utara
kemulutnya sendiri.
Entah keberuntungan dari mana
sang raksasa tidak menggigit kami, sehingga mereka tidak akan mati karna
tubuh terbelah melainkan langsung menelan mereka berdua hidup-hidup setelah
terus jatuh ke dalam tubuh si raksasa tersebut Gu akhirnya melihat epiglotis
yang berfungsi menutup batang tenggorokan ketika proses menelan, agar makanan
tidak masuk ke saluran pernapasan, setelah ia pikir-pikir dibanding melalui
tenggorokan yang berfungsi sebagai tempat lalunya udara lebih baik daripada
melalui kerongkongan yang fungsinya sebagai tempat masuknya makanan, karna
sepengetahuanku, aku bisa ke jantung jika melalui proses pernapasan, jika
melalui tenggorokan aku hanya akan ke lambung, usus halus, usus besar dan anus.
“Oy Pedang Dari Utara, bisa kau
gerakan epiglotis di depan ini, kau hanya perlu membukanya hingga kita bisa
lewat,” Kataku sambil menunjuk epiglotis yang dimaksud. Pedang Dari Utara lalu
memandangku dengan pandangan penuh kesenangan, membuatku menelan ludah gugup,
mungkin cara ini agak gila dengan kekuatannya tapi cara inilah yang paling
jelas dan mungkin di pikiranku saat ini.
Ketakutanku benar, epiglotis
raksasa itu bukan hanya tergerak, tetapi hilang sepenuhnya membuat kita
langsung meluncur ke kerongkongan, kita meluncur jauh hingga mencapai trakea,
aku yang ingat fungsi tempat ini ketakutan, “Aku, kan, bukan kuman! Semoga
tubuhnya paham itu.” Gerutuku dalam hati. Baru ingat fungsi dari trakea,
lendir di sekitar yang mencoba menahan kita, ternyata dapat diatasi dengan
mudah, yaitu Pedang Dari Utara yang terus melayangkan pedangnya ke segala arah,
untung saja aku belum terkena serangan acaknya.
Seolah tak paham penderitaanku,
aku dan Pedang Dari Utara yang sedang tertawa kesenangan di sebelahku melewati
banyak hal mulai dari diafragma, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. “Hei, ayo
ikut aku, kita harus ke jantung untuk mengalahkan raksasa ini,” dengan cepat
aku berteriak ke Pedang Dari Utara yang langsung ngacir mengikutiku, untung
saja dulu waktu sekolah dasar ia mendengarkan pelajaran dengan agak seksama
hingga ia bisa hidup hingga saat ini
Aku dan Pedang Dari Utara melalui
kapiler mengalir ke jantung, dan sebelum jantung terpompa lagi, hingga kita
kearah yang aneh aku memberi kode ke arah Pedang Dari Utara, paham kodeku
Pedang Dari Utara mengangkat pedangnya tinggi-tinggi menyerang ke arah jantung
raksasa, sekaligus mengoyakan kulit luarnya. Setelah raksasa itu berhasil
dihabisi dari dalam olehku dan Pedang Dari Utara, raksasa itu jatuh dengan keras
membuatku berlari keluar dari tubuh dan bergerak ke timur, dan si Pedang Dari
Utara pergi ke arah berlawanan.
“Aduh..” aku mengaduh pelan, sial
dia harus melempar dirinya, walau itu lebih baik daripada ketiban raksasa dari
sudut pandang manapun, lalu sebuah pemikiran sederhana masuk ke otakku,
bukankah dengan kondisi Pedang Dari Utara tidak bisa melihatku dan selama misi
para dewa lain tidak akan mengganggu bukankah waktunya kabur?
Dengan cepat aku mengambil
pegangan di kakiku, dan lari dengan cepat melintasi hutan, dan ke arah timur,
dari belakang aku bisa mendengar suara teriakan Pedang Dari Utara, tetapi tetap
tidak kupedulikan dan lari.
Setelah beberapa waktu terus
berlari, hutan mulai menipis dan berakhir dengan ujung pantai. Aku berhenti
berlari dan terengah-engah kelelahan, para makhluk sialan ini tidak pernah
berpikir sebelum memberikan misi. Mereka pikir aku manusia jenis apa bisa
menyelesaikan misi sejenis ini, lebih baik aku kabur.
“Buat kapal selam,” Aku berharap dan
boom! Kapal selam itu muncul, memang satu-satunya hal baik di pulau ini
ialah perwujudan harapanku. “Lihatlah kalian dewa-dewa jahanam, aku tidak akan bertemu
kalian lagi!” Aku mengutuk sambil masuk ke kapal selam dengan riang.
Setelah sekitar 15 menit
berjalan, aku berkeliling di sekitar kapal dan melihat pemandangan terlihat
ikan dan terumbu karang yang sangat cantik. Brak! Aku terlonjak kaget. Apa
terjadi sesuatu atau ada yang salah? Dengan berlari aku membuka pintu ruang
observasi. Terlihat kapal selam ini perlahan-lahan naik, menuju ke permukaan.
“Apa-apaan ini, sial!” Aku
mencoba memencet setiap tombol yang ada, berharap agar salah satu tombol ini bisa
membuat kapal kembali ke menyelam dalam lautan. Tapi tak peduli apa yang kulakukan,
kapal ini terus mengarah ke permukaan.
“Hahaha! Lihatlah bodoh, bahkan
laut pun tidak mengizinkanmu pergi!” Suara tawa Philip yang kekanakan memenuhi
pendengaranku.
“Kau yang melakukan ini?!” Aku
berteriak ke arah langit, yakin bahwa dewa-dewa itu menonton.
“Kau tidak boleh kabur seenaknya
ketika misi yang dibuat untukmu belum selesai.” Kata Raja Absolut, masuk dalam
percakapan.
“Agh! Aku sudah lelah
dengan misi-misi ini. Biarkan aku pergi dan hidup sesuai kehendakku!” Aku
berteriak, sudah stress dengan
semua yang terjadi.
“Yah karena kau sangat ingin kabur, mau membuat perjanjian denganku?” Suara Philip terdengar lagi. Namun bukan dengan nada kanak-kanaknya yang biasanya yang ia gunakan, tapi dengan nada licik, yang tidak kuharapkan akan muncul dari anak kecil sepertinya.
“Mengapa kapal selammu tadi
mengapung? Apa harapan yang kuinginkan?” Philip mengatakan dengan tenang, walau
tidak bisa melihat wujudnya, aku bisa merasakan matanya memincing tajam kearahku.
Aku tertawa dalam hati, apa ia
pikir aku sebodoh itu sehingga tidak tahu? Aku dengan percaya diri membuka
mulut, “Kau berharap agar kapal selamku naik ke permukaan bukan?”
“Hahaha! Seperti yang kuharapkan
dari orang bodoh sepertimu, berpikiran sangat sederhana sekaligus sangat
bodoh.” Suara tawa Philip menggema, sedangkan aku hanya bisa menggigit lidah,
apa-apaan mana mungkin jawabannya bukan hal ini.
“Apa maksudmu! tentu saja kau
berharap hal itu, bukan? Jika tidak, bagaimana mungkin kapal selam ini bisa
naik ke permukaan?” Aku tidak terima, bagaimana mungkin dewa bodoh ini bisa
melakukannya jika tidak begitu.
“Bukan, aku hanya berharap agar
massa jenis air laut kita ditinggikan, sehingga kapal ini akan mengapung. Begitu
saja tidak paham.” Philip kembali mengejekku.
“Yah, sebagai hukuman,
berenanglah kembali ke pulau, ya? Atau kau ingin melanjutkan perjalanan ke
antah berantah sana?” Selesainya perkataan itu, kapal selam tadi menghilang dan
aku sendirian di lautan lepas. Sambil menahan seluruh rasa amarah aku kembali
berenang ke pulau, melanjutkan misi menjengkelkan itu.
Aku mencoba menstabilkan napasku.
Berenang selama lebih dari 30 menit membuat napasku tak stabil, selain itu
kakiku juga kram, untunglah aku masih bisa selamat.
“Oy, orang bodoh! Jangan mati! Jika
kau mati siapa yang mendengarkan wejangan bijakku?” Suara Raja Palsu muncul.
Membuatku yang sudah lelah ini semakin lelah.
“Mana mungkin dia mati cuma
karena berenang sebentar?” kali ini suara Pedang Dari Utara.
“Siapa suruh dia bodoh? Padahal tinggal
meminta harapan sebuah kapal atau alat renang. Tapi tidak lewat di otaknya yang
kecil itu.” Suara Philip terdengar lagi, menamparku atas kenyataan bodoh yang
harusnya tadi kulakukan.
“Aku sudah memikirkan itu kok!
Aku hanya mencoba, hachuu!” Hidung sial, bisa-bisanya bersin disaat
seperti ini.
“Duh, imunmu lemah banget. Baru berenang
sedikit aja udah pilek!” Pedang Dari Utara mengejek.
“Heh, biar begini aku ikut suntik
imunisasi waktu kecil dulu!” Aku berseru. Enak saja si otak otot itu mengataiku.
“Hanya karena kamu telah di
suntik imun bukan berarti tubuhmu tidak bisa diserang penyakit, menjaga
kesehatan tubuh tentu saja penting.” Suara Raja Absolut yang terdengar sekarang
membuatku dan Pedang Dari Utara terdiam, memang wibawa orang ini berbeda.
Tiba-tiba aku tidak merasakan
dingin lagi, dan sesaat kemudian terdengar suara, “Aku sudah berharap untuk
menyehatkan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuhmu, tolong jangan
sakit lagi, mengganggu.” kata Raja Absolut
“Baiklah-baiklah, dibandingkan
kalian menggangguku, mari kita melanjutkan misinya.” ucapku, “Apa misi
selanjutnya?”
“Baik, kau bersamaku sekarang.”
Suara si Pelerai terdengar di kepalaku, yang berarti dia tidak akan muncul dan
hanya menemani perjalanan ini
“Jalan apa yang akan kita lewati?
Jangan susah-susah!” aku berkata dengan kecut, masih sakit hati dengan kejadian
tadi.
Tanpa memeringati apapun kepadaku
tiba-tiba bidang di depanku berubah lagi, suasana kota di dunia nyataku membawa
rasa nostalgia, tetapi di depanku kini penuh orang beramai-ramai membawa papan
ataupun hanya berjalan.
“Nah misimu sederhana, temani aku
bicara dan cobalah keluar dari demo ini,” kata Pelerai santai, aku agak kaget
setelah mengalami misi yang anehnya melebihi batas manusia, ini sih seperti
permainan kanak-kanak.
“Heh orang gak guna, minggir aku
mau lewat,” aku membentak orang didepanku, mereka harus membuka jalan untuk
orang penting sepertinya, tetapi si sialan di depan mataku malah melihatku
dengan tatapan aneh, dan tak mengacuhkanku.
“Buahaha… ketika kau bosan kau harus
mencoba menjadi pelawak, kau itu bukan orang penting bagaimana mungkin kau
berpikir orang-orang akan menyingkir karna kau suruh,” aku bisa merasakan
pipiku merah, menahan malu, sial kalau saja bukan karna orang tadi dia tidak
harus menahan malu seperti ini.
Dengan perlahan melewati berbagai
orang, dan ditubruk berbagai orang aku berjalan melewati tempat ini sambil
menahan kutukan yang rasanya sudah berada di ujung bibirku, selain itu bukankah
si Pelerai berkata ingin menemaniku berbicara, sekarang dia malah
meninggalkanku sendirian dengan tempat ini, tetapi setelah beberapa saat di
sini aku baru paham, ini ialah demo untuk Black Lives Matter, salah satu demo
yang sering kulihat di aplikasi burung akhir-akhir ini.
“Ah awalnya aku ingin berbicara
denganmu, tapi kau sepertinya tidak tahu apapun tentang demo ini, bagaimana
kalau kamu berbicara kepada salah satu pendemo ini, baru kembali bicara
kepadaku, bye..” Lalu dengan itu si Pelerai meninggalkanku sendirian, dasar
dukun itu, kalau ada tubuh fisiknya akan kutarik semua kain yang ada di
kepalanya.
Aku mengedarkan pandanganku ke
sekitar mencari orang yang terlihat mudah diajak bicara, dan aku memusatkan
pandanganku ke seorang anak seumuranku yang juga ikut demo itu, harusnya
berbicara ke orang seumuranku akan lebih mudah.
Dengan lembut aku menghampiri
pria seumuranku yang menjadi salah satu aktivis demo di demo ini, “Apa aku
boleh bertanya ? Demo ini benar untuk BLM bukan ?”ucapku dengan nada sebaik
mungkin, kearahnya bahkan hingga kutambahkan senyum kecil, yah walau aku yakin
itu tidak sampai ke mataku.
Orang itu memutar kepalanya,
melihatku yang berada di belakangnya, “Ya. Kenapa memangnya ?” katanya ketus,
membuatku menggerutu dalam hati, astaga ada apa orang-orang ini dan sikap ketus
mereka, seandainya mereka lebih baik, dan murah hati dengannya.
Dengan cepat aku mengubah arah
komunikasiku kembali ke Si Pelerai, “Oi, aku perlu menanyakan apa ?” tanyaku
cepat takut orang di depanku menganggapku aneh
“Tanya saja apapun yang ada
dipikiranmu,” tentu saja aku akan menerima jawaban tidak berguna dari pria ini,
memang melelahkan.
“Mengapa kau memutuskan untuk
mengikuti demo ini?” ucapku, dengan dasar penasaran, maksudku kalau ada orang
hitam yang meninggal karna orang putih lalu kenapa? Bukankah kematian ialah
sifat alami manusia kalau ia tak mati, bukankah aneh.
“Hah? Kau ini tidak punya rasa
kemanusiaan ya? Kau tau ini demo Black Lives Matter, berarti kau tau kan alasan
kita melakukan demo ini, kejadian yang membuat gerakan ini makin bersuara?
Kalau kau tau kau tidak akan mengatakan perkataan itu, dasar orang tanpa rasa
kemanusiaan!” Marah pria itu, sialan jika tau dia orang yang sesensitif ini
pasti aku memilih orang yang tampilannya lebih ramah, dan sabar, dibandingkan
orang sepertinya.
Dengan tampilan seramah mungkin
aku mencoba melanjutkan “Hahaha.. bukan begitu maksudku, maukah kau jelaskan
kepadaku yang tak tahu apa-apa ini tentang gerakan itu?” Aku menunjukkan wajah
sepolos yang aku bisa, dan aku bisa mendengar suara tawa kencang bergema di
otakku.
Setelah keheningan singkat yang
terjadi diantara aku dengannya, ia membuka mulutnya lagi “Baiklah. Semua
manusia layak untuk hidup bukan tanpa peduli warna kulitnya. Tanpa peduli dia
itu hitam, putih, atau apapun, black lives matter ialah gerakan bahwa
orang-orang berkulit hitam layak mendapatkan kehidupan karna semua kehidupan
itu berharga, tanpa terkecuali.”
“Ah.. terima kasih aku sudah
mendapat gambarannya,” Aku cepat-cepat ingin menyelesaikan percakapannya, tapi
sepertinya orang ini tidak berpikir seperti itu.
“Tetap bertahan pada imanmu,
dunia memang sudah sangat penuh dengan orang jahat, aku tidak tahu tentang
imanmu tapi aku seorang katolik dan berdasarkan ajaran gereja yang ditulis oleh
paus sendiri, semua orang ialah citra Allah maka dari itu hargai dan beri hak
yang sama kepada tiap orang,” dia mengatakan itu sambil melihat ke mataku,
membuatku merasa percakapan ini seolah hanya untukku, aku meneguk salivaku,
untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering.
Lalu orang itu pergi mengikuti
demo lagi, meninggalkanku sendirian dalam keheningan di tempat yang sangat
ramai ini, “Hahaha manusia ini lucu sekali, mereka bahkan tidak perlu aku untuk
mencerai berainya, mereka akan tercerai berai sendiri,” suara di kepalaku
membuat kesadaranku yang sepertinya telah pergi jauh, kembali.
Setelah menggelengkan kepalaku
pelan untuk mengusir kata-kata tidak penting itu aku menjawab si dukun satu
itu, “Cih kamu terlalu meremehkan manusia,” aku mengatakan itu kearahnya, mungkin
manusia itu lemah, tapi sayangnya aku salah satu dari manusia maka Ia seratus
persen salah.
“Wow, itu sungguh keluar dari orang sepertimu,” ucapnya dengan nada meremehkan, “Aku dewa perpecahan, tetapi menurutku dibanding membuat perpecahan di depan mata seperti ini yang bisa diapndang dengan jelas, membuat perpecahan di dalam hingga tak ada satu orangpun yang menyadarinya kecuali dirinya sendiri seperti di dalam..” dia menghentikan ucapannya, tapi tanpa mengetahui akhir katanya, aku bisa merasakan pandangan mata tak kasat mata tertuju kearahku. Aku menggertakan gigiku, walau dewa perpecah belai sendiri yang mencoba menjatuhkanku, dengang diriku saja sudah cukup. Tidak perlu orang dan iman tidak penting, hanya aku, pasti bisa menjatuhkan dewa sepertinya jika mau.
“Jika kau ingin menggoyahkanku,
maka kau menggoyahkan orang yang salah,” ucapku, di saat yang bersamaan aku
sudah berhasil keluar dari kota metrapolitan yang terasa menyesakan di tengah
demo tidak penting seperti ini, apalagi ditemani oleh dukun jadi-jadian dalam
otakku, lebih baik kalau itu cewek cantik, sudah cowok, dukun lagi untung sudah
selesai.
“Yah sudah selesai, lanjutkan
perjalananmu, dan.. aku menunggumu pecah, Guifi.” setelah itu kehadirannya
menghilang, meninggalkanku sendirian di ujung jurang
***
Birunya langit merambat turun seperti segelas air yang diseruput. Seperti ada yang iseng menumpahkan tinta, langit menghitam dengan
cepat. Lepas dari medan sebelumnya, hawa dingin menyergapku. Makin
jauh aku berjalan, makin sulit aku menggerakkan tulang. Rasanya seperti mau
membeku. Aku mengigil hebat.
Dan kini langit sempurna gelap, hitam
pekat selebar apapun aku membuka mata. Dalam kegelapan itu pula aku meraba-raba
seperti orang buta. Kakiku tenggelam dalam salju. Tersaruk-saruk, terus maju.
Makin lama lapisan es dibawahku semakin tebal. Sesekali aku tersandung, jatuh.
Angin berhembus kian kencang, menamparku dari segala sisi. Dingin, beku, menggigil.
Gigiku rapat mengatup, bergemeletuk. Tubuhku mulai mati rasa. Entah sudah berapa
lama aku berjalan di tengah kegelapan tak berujung ini.
Aku terkapar. Segalanya mendadak
sunyi. Tak kudengar lagi deru angin dingin yang ganas mencabikku. Kini aku
sempurna buta dan tuli. Sepertinya aku akan mati membeku di tempat ini. Sendirian,
di tengah hamparan salju dan ditelan kegelapan malam. Hujan es akan menguburku dan
jasadku tak akan pernah ditemukan. Kurasakan kesadaranku kabur pelan-pelan. Semua
memori di otakku berjejalan keluar, melintasi mataku yang terpejam,
meninggalkan pemiliknya yang tinggal menunggu ajal.
“I know you, I walked with you
once upon a dream…”
Aku mengerjap. Tubuhku terasa
begitu ringan hingga rasanya seperti melayang.
Setitik cahaya merekah di ujung
garis pandangku. Cahaya itu terpecah kuning—hijau. Terus menjalar seperti
matahari terbit, membentuk sulur-sulur yang menari-nari di langit. Aku
merinding. Pemandangan ini selalu ada dalam mimpiku. Cahaya kutub yang sempurna,
Aurora borealis.
“I know you, that look in your
eyes is so familiar a gleam
And I know it's true that visions are seldom all they seem”
Perhatianku teralihkan pada sebuah
suara merdu. Seorang wanita berdiri di bawah cahaya-cahaya itu. Rambut
panjangnya tergerai sepinggang. Ia mengenakan berlapis-lapis satin keperakan,
tak terusik oleh angin dingin. Ia bertelanjang kaki, gemulai mendekati sebuah
pohon raksasa yang entah bagaimana munculnya. Mata perempuan itu terlihat
mengantuk, dan suaranya mendayu-dayu. Saat tatapan kami akhinya bertemu, sudut
bibirnya terangkat naik. Tangan wanita itu terjulur, menunjuk sebuah titik di
belakang kepalaku. Dan saat itulah kutemukan diriku aku yang sudah terbujur kaku.
Beku dibungkus salju.
“But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once, the way you did once upon a dream”
Suaranya naik melengking diiringi
angin dingin di sekitar kami yang terdengar seperti siulan. Gemerisik pohon,
dan suara tak terdengar dari cahaya aurora yang menari-nari. Hujan salju dan
gemerlap milyaran bintang di langit malam. Tubuhku—maksudnya rohku—melayang-layang.
Naik, terbang tinggi meninggalkan daratan.
“But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once
The way you did once upon a dream
I know you, I walked with you once upon a dream
I know you, that gleam in your eyes is so familiar a gleam
And I know it's true that visions are seldom all they seem
But if I know you, I know what you'll do
You'll love me at once, the way you did once upon a dream..”
Putri Salju itu menyelesaikan
lagunya sembari melambaikan tangan. Aku melayang semakin tinggi, semakin ringan.
Semakin kosong, dan semakin hilang. Once Upon a Dream, soundtrack dari
film Sleeping Beauty. Lagu itu tentang cinta, satu-satunya hal yang Gu
si Hebat ini tak pernah miliki. Cinta dalam hati anak yang mati membeku itu
habis dimakan ego dan kesombongannya sendiri. Maka segalanya kini masuk akal. Aku
memang pantas mampus seperti ini, dan semuanya akan kuterima dengan lapang
dada.
Aku terbang meninggalkan bumi,
menembus bintang-bintang, dan tersesat di kehampaan. Sepi dan sunyi. Sendirian.
Lalu segenggam kesedihan merasuk begitu saja, menjejalkan dirinya dalam lubang
kekosongan yang terbentuk seiring naiknya aku kesini. Kesedihan tanpa alasan
yang membuatku seperti mau mati (lagi). Aku menangis meskipun tidak lagi
mempunyai mata dan air mata. Terisak-isak tanpa bunyi, hingga kurasakan tubuhku
terkoyak menjadi seribu bagian.
Aku menjadi atom yang menyatu
dengan kehampaan. Terkatung dan terlunta. Menyakitkan sampai tidak ada rasanya.
Lalu dalam sekejap, aku merasa semua partikel tubuhku itu tersedot. Menyatu.
Aku sempurna pepat sebagai manusia lagi. Kutarik napas panjang, terengah-engah.
Seorang anak kecil menatapku
tajam.
The Teenage Years
By Sarah Grey
We learn from our mistakes,
From the wrong turns we take,
From the fake friends we make,
And from the times we almost break.
Our mistakes help us grow,
But at the time, we didn't know.
We didn't want our weakness to show.
At the time, we couldn't let them know.
Our fake friends were there,
But they didn't actually care
Our secrets they would share,
And now as we pass, they just stare.
Not breaking means you're strong.
You'd know where you went wrong,
As if you weren't waiting so long
To explain yourself, but stay strong.
So here's to the liars and traitors,
All the wannabes and haters
And learning from our mistakes
And learning to spot the fakes.
Dadaku terisi penuh. It is about bad experiences in friendship, and how I had to be able to deal with them strongly.
Anak laki-laki itu menyelesaikan
puisinya dengan lugas, berhenti selangkah di hadapanku. Aku tertegun
menatapnya. Tingginya tak jauh beda dengan Si Raja Palsu. Anak itu begitu kurus
dan kecil. Kulitnya kusam, rambutnya tak terawat. Namun matanya sungguh
cemerlang.
Ia menatapku dengan berani dan nyalang,
penuh cahaya kehidupan. Ia sedang marah.
“Ingat aku?” Tanyanya, suaranya
ringan dan merdu. Tentu saja aku ingat. Aku kenal sekali dengan anak ini. Ia adalah
Gu kecil yang ceria. Anak yang berani melahirkan mimpi-mimpi hebat dalam kepalanya.
Ia adalah aku yang masih kecil. “Kamu keterlaluan, Gu.” Katanya lagi.
“Kenapa kau masih ada?” Aku tercekat,
mundur.
“Selama kau ada, kami akan
tetap ada, Gu.” Anak itu tersenyum pedih, “Kami adalah bagian dari dirimu.”
“Kami?” Aku memastikan.
Aku versi kecil itu menangguk. Di
belakangnya terbayang 6 sosok yang tak asing bagiku. Si Raja Palsu yang congkak,
Pelerai, Raja Absolut, Pedang dari Utara, Lentera yang menyebalkan, hingga
Aurora si Putri Salju yang muram. Baru aku sadar, mereka semua adalah perwujudan
dari sifat-sifatku. Aku yang congkak, egois, dan menyebalkan. Tidak bersemangat,
suka memaksa, dan benci saat orang lain bahagia.
Rupanya begitu.
Tatapan Gu kecil melembut, ia maju
dan meraihku dalam pelukannya. “Biarkan mereka tidur,” bisiknya, “Kami
minta maaf.”
Begitulah, aku menutup mata.
***
Bruk! Seperti dijatuhkan
tiba-tiba, aku tersentak kaget. Badanku tidak bisa digerakkan. “Ah, sakit
banget…” Gerutuku pelan.
“Eh!”
“Kakak!”
Suara di sekitarku masuk dengan
cepat. Salah satu dari mereka berteriak sangat kencang entah mengapa. Kepalaku berdenyut
sakit, aku mengutuknya dalam hati.
Kekacauan itu reda sementara aku mengambil
waktu untuk membuka mata (yang tidak membuahkan hasil). Lalu setelah suara
orang-orang tanpa henti yang tidak kuketahui apa itu mulai menghilang, aku
mencoba membuka mataku lagi. Kali ini bukannya sinar yang menyambut pandanganku,
melainkan wajah Mama yang menangis. Aku sudah pulang.
Selesai
Komentar
Posting Komentar